
Selain permohonan di Pengadilan Negeri ↗, juga terdapat jenis permohonan di Pengadilan Agama. Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam.
Perkara tersebut antara lain di bidang perkawinan ↗, kewarisan ↗, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah, dan ekonomi syariah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam[1]
Termasuk kewenangan Pengadilan Agama yaitu memeriksa dan mengadili perkara permohonan sepanjang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan ↗.
Permohonan dimaksud diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama di tempat tinggal Pemohon secara tertulis yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah. Dari permohonan yang diajukan tersebut, kemudian diputus oleh Hakim dalam bentuk penetapan.
Namun, sebagian orang belum mengetahui jenis-jenis permohonan di Pengadilan Agama.
Untuk itu, melalui artikel ini, kita akan mengulas jenis permohonan di Pengadilan Agama.
Daftar Isi
17 Jenis Permohonan di Pengadilan Agama
Artikel ini merangkum setidaknya terdapat 17 jenis permohonan di Pengadilan Agama. Apa saja permohonan di maksud? Berikut daftarnya.
1. Permohonan Pengangkatan Wali Bagi Anak
Jenis permohonan di Pengadilan Agama yang pertama dalam artikel ini adalah pengangkatan wali bagi anak. Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang dimaksud adalah bagi anak yang belum berumur 18 tahun.
Di samping itu, anak tersebut belum pernah melangsungkan perkawinan. Anak tersebut berada di bawah kekuasaan orang tua—sepanjang kekuasaan orang tua tidak pernah dicabut berdasarkan putusan pengadilan ↗ yang berkekuatan hukum tetap.
Dalam ketentuan Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) menyebutkan:
“Orang tua merupakan kuasa menurut undang-undang bagi anaknya yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah menikah”.
Untuk itu, sepanjang tidak terdapat sengketa mengenai kekuasaan anak, orang tua menjalankan kewajiban penguasaan terhadap anak, baik berupa pengurusan atas diri maupun harta anak tersebut tanpa membutuhkan penetapan dari pengadilan.
Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.[2]
Dasar hukum permohonan penetapan wali adalah awalnya adalah Pasal 49 huruf (a) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ↗.
Akan tetapi, terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019 Tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali.
2. Permohonan Pengangkatan Wali/Pengampu
Permohonan pengangkatan wali atau pengampu bagi orang dewasa yang kurang ingatannya. Jenis permohonan di Pengadilan Agama satu ini bisa dibilang permohonan untuk orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi.
Jika seorang dewasa karena akalnya terganggu, tidak mampu untuk mengurus diri sendiri serta harta bendanya, maka tiap-tiap keluarga terdekat dan jika tidak ada, jaksa kepala atau jaksa berhak memohon agar diangkat seorang pengampu untuk mengurus orang demikian serta harta bendanya[3].
3. Permohonan Dispensasi Kawin
Permohonan dispensasi kawin ↗ diajukan karena pria atau wanita belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.
Hal ini dilakukan karena berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa:
“Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun”. Batas usia kawin ↗ menjadi 19 tahun”.
Untuk itu, bagi calon mempelai pria atau wanita yang belum berumur 19 tahun hendak melangsungkan perkawinan, harus mengajukan permohonan dispensasi kawin. Dispensasi kawin ini adalah salah satu jenis permohonan di Pengadilan Agama.
4. Permohonan Izin Kawin
Selain dispensasi kawin, izin kawin juga jenis permohonan di Pengadilan Agama. Permohonan ini dilakukan bagi calon mempelai yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun.
Mengapa calon mempelai yang belum berusia 21 tahun perlu mendapatkan izin kawin? Karena untuk melangsungkan perkawinan, bagi mereka yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, harus mendapat izin kedua orang tua.
Akan tetapi, dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya[4]
Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (5) UU Perkawinan menyebutkan:
“Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini”.
5. Permohonan Pengangkatan Anak
Permohonan pengangkatan anak ↗ atau pada umumnya disebut anak angkat.
Apa yang dimaksud anak angkat?
Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan[5].
Menurut Pasal 171 huruf h KHI, Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.
Permohonan pengangkatan anak termasuk jenis permohonan di Pengadilan Agama. Berbeda dengan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri, pengangkatan anak di Pengadilan Agama dilakukan berdasarkan Hukum Islam.
Dasar hukum yang dapat digunakan adalah ketentuan Pasal 49 huruf a angka 20 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama):
“Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam”.
Secara umum, syarat yang dibutuhkan dalam permohonan pengangkatan anak adalah sebagai berikut:
- Surat Permohonan Pengangkatan Anak.
- Fotokopi KTP kedua orang tua anak kandung.
- Fotokopi KTP Pemohon/Para Pemohon.
- Fotokopi Buku Nikah orang tua anak.
- Fotokopi Buku Nikah Pemohon/Para Pemohon.
- Fotokopi Surat Kelahiran/Akta Kelahiran Anak.
- Surat Rekomendasi dari Dinas Sosial.
- Surat Keterangan Kelurahan atau Desa, yang berisi pada pokoknya akan mengurus pengangkatan anak.
- Membayar panjar biaya perkara
6. Permohonan untuk Menunjuk Seorang atau Beberapa Orang Wasit
Jenis permohonan ini juga termasuk kewenangan Pengadilan Negeri. Akan tetapi, jenis permohonan di Pengadilan Agama khusus bagi orang Islam.
Permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) oleh karena para pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk menunjuk wasit (arbiter).
Permohonan ini sama dengan permohonan yang diajukan melalui Pengadilan Negeri. Akan tetapi, perbedaannya di Pengadilan Agama diajukan bagi mereka yang beragama Islam.
Dasar hukum yang dapat digunakan adalah Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU No. 30/1999)
7. Permohonan Sita atas Harta Bersama
Permohonan sita atas harta bersama tanpa adanya gugatan cerai dalam hal salah satu dari suami istri melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama.
Apa maksudnya? Misalnya salah satu suami atau istri mempunyai sifat penjudi, pemabuk, boros, dan sebagainya.
Hal tersebut tertuang dalam ketentuan Pasal 95 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang merupakan jenis permohonan di Pengadilan Agama, yang menentukan:
Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama ↗ seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.
8. Permohonan Izin untuk Menjual Harta Bersama
Salah satu jenis permohonan di Pengadilan Agama adalah permohonan izin untuk menjual harta bersama untuk kepentingan keluarga. Izin menjual harta bersama ↗ dilakukan karena harta tersebut dalam status sita.
Hal ini didasarkan pada Pasal 95 ayat (2) KHI:
“Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama”.
9. Permohonan Agar Seseorang Dinyatakan dalam Keadaan Mafqud
Permohonan agar seseorang dinyatakan dalam keadaan mafqud merupakan jenis permohonan di Pengadilan Agama.
Apa itu mafqud? Menurut Muhammad Ali as-Shabuny, 1968: 196, mafqud adalah orang yang hilang dan telah terputus informasi tentang dirinya, sehingga tidak diketahui lagi tentang keadaan yang bersangkutan, apakah dia masih hidup atau sudah wafat.
Permohonan seseorang dinyatakan mafqud didasarkan pada Pasal 96 ayat (2) KHI, yang menentukan:
”Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama”.
Di samping itu, dasar hukum lainnya adalah ketentuan Pasal 171 KHI.
10. Permohonan Penetapan Ahli Waris
Dalam Penjelasan Pasal 49 huruf b UU Peradilan Agama menyebutkan
“Yang dimaksud dengan ‘waris’ adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan ↗ atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris”.
Syarat penetapan ahli waris ↗, sebagaimana saya kutip di laman Pengadilan Agama Kebumen ↗ secara umum adalah sebagai berikut:
- Surat Permohonan (7 rangkap).
- Fotokopi KTP Pemohon dan semua Ahli Waris.
- Fotokopi akta nikah Pewaris.
- Fotokopi kartu keluarga Pewaris.
- Fotokopi akta kelahiran semua anak dari Pewaris.
- Fotokopi Surat Kematian (suami/istri).
- Surat Keterangan dari Kelurahan yang menyatakan dengan sebenarnya ahli waris.
- Fotokopi buku nikah (yang meninggal).
- Fotokopi surat keterangan Ahli Waris.
- CD Softcopy Surat permohonan (1 buah).
- Membayar panjar biaya perkara.
11. Permohonan Itsbat Nikah
Salah satu jenis permohonan di Pengadilan Agama adalah Permohonan Itsbat Nikah ↗. Apa yang dimaksud Itsbat Nikah? Itsbat Nikah adalah permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama untuk dinyatakan sahnya pernikahan agar memiliki kekuatan hukum.[6]
Ketentuan Pasal 7 KHI menentukan:
- Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
- Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
- Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
- Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian ↗.
- Hilangnya Akta Nikah.
- Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.
- Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974.
- Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan ↗ menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974.
Siapa yang berhak mengajukan permohonan Itsbat Nikah? Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah ↗ dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
12. Permohonan Penetapan Wali Adhal
Permohonan penetapan wali adhal juga jenis permohonan di Pengadilan Agama. Permohonan ini dilakukan apabila wali nikah calon mempelai wanita yang akan melangsungkan perkawinan tidak mau menjadi wali dalam perkawinan tersebut.
Alasan lain diajukan permohonan oleh calon mempelai wanita ini karena apabila wali nasab tidak ada atau tidak diketahui di mana keberadaannya. Atau berhalangan atau tidak memenuhi syarat, maka wali nikahnya adalah wali hakim.
Untuk itu, menurut ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Agama RI Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim yaitu:
- Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/di luar wilayah teritorial Indonesia, tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat, atau mafqud, atau berhalangan, atau adhal, maka pernikahannya dilangsungkan oleh wali hakim.
- Khusus untuk menyatakan adhal-nya wali sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.
13. Permohonan Pencabutan Surat Penolakan Perkawinan
Permohonan pencabutan surat penolakan dari Pegawai Pencatat Nikah termasuk salah satu jenis permohonan di Pengadilan Agama.
Permohonan ini diajukan menyangkut adanya surat penolakan dari Kantor Urusan Agama (KUA) karena ada salah syarat yang belum/tidak terpenuhi. Misalnya mengenai keabsahan akta perkawinan wali nikah.
Agar perkawinan tetap dilaksanakan, maka diperlukan permohonan penetapan pencabutan surat penolakan perkawinan tersebut.
14. Permohonan Pencegahan Perkawinan
Permohonan pencegahan perkawinan dilakukan apabila calon mempelai atau salah satu calon mempelai tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan.
Pasal 13 UU Perkawinan menyebutkan: “Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
Siapa saja yang dapat mencegah perkawinan melalui permohonan? Yaitu para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan[7].
Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.[8]
Permohonan pencegahan perkawinan adalah salah satu jenis permohonan di Pengadilan Agama khusus orang-orang beragama Islam.
15. Permohonan Itsbat Kesaksian Rukyat Hilal
Permohonan itsbat kesaksian rukyat hilal termasuk jenis permohonan di Pengadilan Agama. Ketentuan Pasal 52A UU Peradilan Agama beserta penjelasannya menentukan:
“Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah“.
Selama ini Pengadilan Agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal. Pengadilan agama dapat memberikan keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu salat.
16. Permohonan Pembatalan Perkawinan
Permohonan pembatalan perkawinan ↗ berbeda dengan permohonan pencegahan perkawinan. Permohonan ini diajukan apabila perkawinan telah dilangsungkan, sedangkan calon mempelai atau salah satu calon mempelai tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan.
Namun, ada beberapa perkara pembatalan perkawinan dilakukan melalui gugatan. Bukan permohonan. Sebab, terdapat perbedaan antara gugatan dengan permohonan ↗.
Siti Hanifah dalam tulisan di laman Pengadilan Agama Wamena ↗, berpendapat bahwa permohonan pembatalan perkawinan harus ditempuh sama dengan prosedur suatu “gugatan” atau “contentiuse jurisdictie” yang mendudukkan dua subjek hukum sebagai Pemohon dan Termohon dalam gugatannya, dan bukan dalam bentuk “voluntair jurisdictie”. Hal ini sesuai dengan maksud Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Memeriksa dan mengadili permohonan pembatalan perkawinan dalam bentuk peradilan voluntair, merupakan kesalahan dalam menerapkan hukum oleh ‘judex factie’ (hakim pemeriksa).
17. Permohonan Izin Poligami
Permohonan izin poligami ↗ merupakan jenis permohonan di Pengadilan Agama. Permohonan izin beristri lebih dari seorang ini diatur melalui Pasal 4 UU Perkawinan. Ketentuan tersebut berbunyi:
“Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya“.
Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: pertama, istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. Kedua, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Ketiga, istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Secara umum, syarat poligami atau beristri lebih dari seorang sebagai berikut:
- Surat Permohonan.
- Fotokopi Surat Nikah dengan istri pertama yang diberi materai Rp10.000.,
- Fotokopi KTP Pemohon, istri pertama dan calon istri kedua.
- Surat pernyataan berlaku adil dari Pemohon.
- Surat keterangan tidak keberatan dimadu dari istri pertama ↗ dan calon istri kedua diberi materai Rp10.000.
- Surat keterangan gaji/penghasilan dari perusahaan/kantor/Kelurahan diketahui oleh Camat setempat.
- Surat keterangan status calon istri kedua dari Kelurahan
- Membayar panjar biaya perkara
Penutup
Sepanjang pengetahuan saya, ada 17 jenis permohonan di Pengadilan Agama. Permohonan tersebut antara lain: permohonan pengangkatan wali bagi anak; pengangkatan wali; dispensasi kawin; izin kawin.
Selain itu, permohonan pengangkatan anak; permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit; sita atas harta bersama; izin untuk menjual harta bersama; permohonan agar seorang dinyatakan dalam keadaan mafqud; penetapan ahli waris; itsbat nikah; penetapan wali adhal.
Di samping itu, jenis permohonan di Pengadilan Agama lainnya adalah permohonan pencabutan surat penolakan perkawinan; pencegahan perkawinan; itsbat kesaksian rukyat hilal; pembatalan perkawinan; izin poligami.
Jadi, sudah tahu, kan apa saja jenis permohonan di Pengadilan Agama?
Demikian. Semoga bermanfaat.
[1] Lihat Pasal 49 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
[2] Pasal 50 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan.
[3] Lihat ketentuan Pasal 263 RBg.
[4] Lihat Pasal 6 ayat (4) UU Perkawinan.
[5] Lihat Pasal 1 angka 9 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
[6] Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku I,
(Jakarta: Ditjen Badilag, 2013)., hlm., 143.
[7] Lihat Pasal 14 ayat (1) UU Perkawinan.
[8] Lihat Pasal 17 ayat (1) UU Perkawinan.