Lompat ke konten

3 Strategi Hukum Membatalkan Penetapan Pengadilan

Bacaan 6 menit

Last Updated: 17 Mar 2022, 08:26 pm

cara membatalkan penetapan pengadilan
ilustrasi. Foto oleh Ekaterina Blovtsova dari Pexels.

Pertanyaan: seseorang memohon ke Pengadilan Negeri atas suatu perkara. Berdasarkan permohonan, kemudian Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan. Saya menolak dan keberatan dengan penetapan tersebut. Upaya hukum apa yang harus saya lakukan untuk membatalkan penetapan Pengadilan Negeri?

Pertanyaan di atas beberapa kali ditanyakan kepada saya. Memang, terhadap penetapan, setidaknya ada 3 cara membatalkan penetapan pengadilan. Kita akan bahas di bawah.

Artikel ini secara khusus membahas tentang cara membatalkan penetapan Pengadilan Negeri. Melalui tulisan ini, akan memberikan pemahaman langkah hukum yang harus dilakukan, agar nantinya upaya hukum yang dilakukan tidak “salah sasaran”.

3 Cara Membatalkan Penetapan Pengadilan

Setidaknya, ada 3 strategi hukum membatalkan penetapan Pengadilan Negeri, yaitu:

  1. Gugatan
  2. Perlawanan
  3. Kasasi

Namun, sebelum membahas substansi dari tulisan ini, perlu kiranya mengetahui beberapa hal di bawah ini.

Kewenangan Pengadilan Negeri

Sebelum membahas kewenangan pengadilan negeri, perlu digarisbawahi bahwa penetapan pengadilan dimaksud adalah penetapan Pengadilan Negeri. Bukan pengadilan lain.

Perlu diketahui bahwa Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri—sebagai Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi—sebagai Pengadilan Tingkat Banding.

Pengadilan Negeri berkedudukan di Kotamadya atau di ibu kota Kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten. Sementara Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibu kota Provinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.

Selain berwenang memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan sengketa perdata berbentuk gugatan, Pengadilan Negeri juga berwenang mengadili perkara permohonan.

Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 3139 K/Pdt/1984, sebagaimana dikutip dalam Elmiyah & Sujadi[1] menegaskan:

Tugas pokok pengadilan adalah memeriksa dan memutus perkara yang bersifat sengketa. Selain itu pengadilan juga memeriksa voluntair jurisdiction. Namun kewenangan itu terbatas pada hal-hal yang ditegaskan oleh peraturan perundang-undangan. Yurisdiksi penetapan pengadilan memang diperluas pada hal-hal yang ada urgensinya itu pun dengan syarat jangan sampai memutus perkara voluntair yang mengandung sengketa.”

Apa itu Perkara Permohonan?

Menurut Yahya Harahap[2], setidaknya ada 5 ciri khas suatu Permohonan:

  1. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak saja (for benefit of one party only).
  2. Bahwa permohonan diajukan murni untuk menyelesaikan kepentingan pemohon tentang sesuatu permasalahan perdata yang memerlukan suatu kepastian hukum, di mana yang dipermasalahkan tersebut tidak bersentuhan dengan hak dan kepentingan orang lain.
  3. Permasalahan yang dimohonkan penyelesaiannya kepada pengadilan pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain (without disputes or differences with another party).
  4. Tidak dibenarkan mengajukan permohonan tentang penyelesaian sengketa hak atau kepemilikan maupun penyerahan serta pembayaran sesuatu oleh orang lain atau pihak ketiga.
  5. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex-parte.

Artinya, perkara permohonan yang diajukan ke pengadilan tidak bersentuhan dengan hak dan kepentingan orang lain atau pihak ketiga. Apabila terjadi demikian, maka bentuknya adalah gugatan, bukan permohonan. Sebab, terdapat perbedaan antara gugatan dengan permohonan .

Mengutip Rio Christiawan, dalam Jurnal Komisi Yudisial, permohonan penetapan yang terlibat dalam permohonan tersebut hanyalah sepihak, yang mana pihak inilah yang disebut pemohon (ex-parte). Adapun sifat ex-parte adalah sebagaimana dimaksud adalah hanya mendengar keterangan dari pemohon atau kuasanya sehubungan dengan permohonan serta memeriksa bukti dan saksi yang diajukan oleh pemohon serta tidak ada tahapan replik-duplik serta kesimpulan.[3]

Baca Juga: 3 Permohonan yang Dilarang di Pengadilan Negeri

Apa itu Penetapan?

Menurut Yahya Harahap,[4] Penetapan adalah putusan yang berisi diktum penyelesaian permohonan yang dituangkan dalam bentuk ketetapan pengadilan. Sifat dari penetapan pengadilan adalah sebagai berikut:

  1. Diktum bersifat deklaratoir, yakni hanya berisi penegasan pernyataan atau deklarasi hukum tentang hal yang diminta.
  2. Pada penetapan pengadilan tidak boleh mencantumkan diktum condemnatoir (yang mengandung hukuman) terhadap siapa pun.
  3. Pada penetapan diktum tidak dapat memuat amar konstitutif, yaitu yang menciptakan suatu keadaan baru.

Mahkamah Agung[5] secara tegas telah menentukan bahwa ada beberapa perkara yang tidak boleh dilakukan melalui permohonan, antara lain:

  1. Permohonan untuk menetapkan status kepemilikan atas suatu benda, baik benda bergerak ataupun tidak bergerak. Status kepemilikan suatu benda diajukan dalam bentuk gugatan.
  2. Permohonan untuk menetapkan status keahliwarisan seseorang. Status keahlian warisan ditentukan dalam suatu gugatan.
  3. Permohonan untuk menyatakan suatu dokumen atau sebuah akta adalah sah. Menyatakan suatu dokumen atau sebuah akta adalah sah harus dalam bentuk gugatan.

Upaya Hukum Membatalkan Penetapan Pengadilan Negeri

Upaya hukum pembatalan penetapan pengadilan dilakukan karena adanya keberatan dari pihak lain atau pihak ketiga yang berkepentingan. Upaya hukum ini dilakukan karena yang bersangkutan menolak penetapan pengadilan yang merugikan dirinya.

Sebagai contoh, ada seseorang (disebut A) yang mengajukan permohonan ke pengadilan terkait dengan pengakuan anak . Permohonan tersebut dikabulkan oleh hakim dan pengadilan mengeluarkan penetapan.

Si B yang mengetahui penetapan terhadap anak kandungnya tersebut keberatan karena si B tidak setuju pengakuan anak dimaksud. Pertanyaannya, ke mana si B melakukan upaya hukum pembatalan penetapan pengadilan dimaksud?

Untuk menjawab pertanyaan cara membatalkan penetapan pengadilan, kita dapat mengacu pada ketentuan yang ada. Salah satu di antaranya adalah, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung  Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

Pada Romawi II angka 3 SEMA dimaksud menyebutkan:

Upaya hukum terhadap permohonan pembatalan penetapan yang berasal dari permohonan sepihak (ex parte) dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan atau perlawanan atau kasasi.

Jadi, dalam SEMA tersebut diatur setidaknya 3 cara membatalkan penetapan pengadilan:

Gugatan

Cara membatalkan penetapan pengadilan yang pertama adalah dengan jalan mengajukan gugatan.

Apa itu gugatan? Secara sederhana, gugatan adalah suatu permohonan yang berisi tuntutan hak yang diajukan Penggugat kepada Tergugat melalui pengadilan. Atas gugatan tersebut kemudian pengadilan mengeluarkan putusan.  

Gugatan diajukan ke pengadilan di tempat penetapan tersebut dikeluarkan. Misalnya yang mengeluarkan penetapan adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka gugatan pembatalan penetapan diajukan kepada Pengadilan Negeri tersebut.

Perlawanan

Di samping mengajukan gugatan, dapat pula melakukan perlawanan. Cara ini disebut juga sebagai verzet. Berbeda dengan derden verzet, derden verzet merupakan gugatan perlawanan. Sementara verzer sebagai upaya hukum atas penetapan verstek.

Kasasi

Cara membatalkan penetapan pengadilan yang ketiga adalah upaya hukum Kasasi. Dalam ketentuan Pasal 43 ayat (1) beserta penjelasan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menentukan:

“Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang”.

“Pengecualian dalam ayat (1) pasal ini diadakan karena adanya putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang oleh Undang-undang tidak dapat dimohonkan banding”.

Mengenai hal ini, terdapat Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 3302 K/Pdt/1196, tanggal 28 Mei 1998. Kaidah hukum dalam yurisprudensi tersebut menyebutkan:

“… Tuntutan pembatalan penetapan seharusnya diajukan kasasi ke Mahkamah Agung ….”

Ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyebutkan: Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan Pengadilan-pengadilan dari semua Lingkungan Peradilan karena:

  1. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
  2. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
  3. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Mencermati uraian di atas, artinya, selain gugatan dan perlawanan, membatalkan penetapan pengadilan juga dapat diajukan kasasi.

Jangka Waktu Kasasi

Angka 4 SEMA tersebut menyebutkan: tenggang waktu pengajuan kasasi oleh pihak lain yang berkepentingan dapat diterima selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak diketahuinya penetapan tersebut.

Penutup

Ada 3 alternatif atau cara membatalkan penetapan Pengadilan Negeri. Pertama, dilakukan dalam bentuk gugatan yang diajukan kepada pengadilan yang mengeluarkan penetapan tersebut.

Kedua, pembatalan dilakukan dengan cara verzet. Verzet diajukansebagai upaya hukum atas penetapan verstek. Ketiga, upaya hukum kasasi—dengan memerhatikan tenggang waktu 14 hari sejak diketahuinya penetapan dimaksud.

Jadi, sudah tahu, kan, strategi hukum membatalkan penetapan pengadilan?

Demikian. Semoga bermanfaat.  


[1] Elmiyah N. & Sujadi S, Upaya-upaya Hukum terhadap Penetapan, Jurnal Hukum dan Pembangunan, 35 (3): (Juli September: 2005).,  hlm., 327.

[2] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, cetakan pertama, April 2008., hlm., 29.

[3] Rio Christiawan, Penetapan Pengadilan sebagai Bentuk Upaya Hukum pada Proses Eksekusi: Kajian Putusan Nomor 1/Pen/Pdt/Eks/2017/PN.Mbo., Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 3 Desember 2018: 367 – 384, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta., Hlm., 378.

[4] Yahya Harahap., op. cit., hlm., 40.

[5] Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan dalam Empat Lingkungan Peradilan., Buku II, Jakarta: 2009.

Tinggalkan Balasan