Lompat ke konten

3 Permohonan yang Dilarang di Pengadilan Negeri

Bacaan 5 menit

Last Updated: 23 Mar 2022, 08:22 pm

permohonan yang dilarang di pengadilan negeri

Salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman Peradilan Umum adalah Pengadilan Negeri (PN). PN salah satu jenis pengadilan yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara perdata yang mencakup gugatan dan permohonan.

Akan tetapi, tidak semua perkara permohonan dapat diajukan. Karena ada beberapa permohonan yang dilarang di Pengadilan Negeri.

Perlu diketahui bahwa Pengadilan Negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan apabila hal itu ditentukan oleh peraturan perundang-undangan .

Pada artikel terdahulu, saya telah membahas tentang jenis permohonan di Pengadilan Negeri . Artinya, permohonan tersebut dapat diajukan, karena telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Artikel kali ini, lebih khusus membahas tentang permohonan yang dilarang di Pengadilan Negeri.

Sebelum kita membahas substansi sebagaimana pada judul, yang perlu diketahui bahwa, berdasarkan permohonan hakim mengeluarkan produk dalam bentuk penetapan.

Berbeda dengan perkara gugatan, pengadilan akan mengeluarkan suatu putusan. Perbedaan gugatan dengan permohonan setidaknya terdapat beberapa hal. Salah satunya adalah produk akhir.

Produk akhir gugatan berbentuk putusan. Sementara permohonan berbentuk penetapan.   

Mengenai penetapan, saya ingin mengemukakan pendapat Sudikno Mertokusumo[1]:

“Penetapan hakim merupakan jurisdiction valuntaria, yang berarti bukan peradilan yang sesungguhnya, karena pada penetapan hanya ada pemohon tidak ada lawan hukum. Di dalam penetapan, hakim tidak menggunakan kata “mengadili”, namun cukup dengan menggunakan kata ”menetapkan”.

Permohonan yang Dilarang di Pengadilan Negeri

Apa saja permohonan yang dilarang di Pengadilan Negeri? Simak daftar dan ulasannya.

1. Permohonan untuk Menetapkan Status Kepemilikan

2. Permohonan untuk Menetapkan Status Keahliwarisan Seseorang.

3. Permohonan untuk Menyatakan Suatu Dokumen Sah

Meskipun Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan mengadili perkara permohonan atau voluntair. Akan tetapi, ada 3 permohonan yang dilarang di Pengadilan Negeri tersebut. Hal ini mengacu pada  Mahkamah Agung RI[2].

Mari kita bahas satu per satu permohonan yang dilarang dimaksud. Berikut pembahasannya!

1. Permohonan untuk Menetapkan Status Kepemilikan

Menurut Mahkamah Agung, salah satu permohonan yang dilarang di Pengadilan Negeri adalah permohonan untuk menetapkan status kepemilikan atas suatu benda, baik benda bergerak ataupun tidak bergerak. Status kepemilikan suatu benda diajukan dalam bentuk gugatan.

Artinya, permohonan yang pada pokoknya meminta menetapkan status kepemilikan atas suatu benda dilarang. Karena seharusnya, untuk menetapkan subjek hukum tertentu berhak atas suatu benda dilakukan dalam bentuk gugatan perdata.

Sebagai contoh, Anda mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri. Dalam petitum permohonan tersebut, Anda meminta untuk menetapkan bahwa sebidang tanah di Jalan A dengan luas 100 meter persegi adalah milik Anda.

Permohonan yang demikian itu, tidak dapat dikabulkan oleh pengadilan. Karena Hak Milik atas sebidang tanah harus dibuktikan dengan sertifikat tanah atau apabila dipermasalahkan dalam suatu gugatan, dibuktikan dengan alat bukti lain di persidangan perdata .

2. Permohonan untuk Menetapkan Status Keahliwarisan Seseorang.

Permohonan yang dilarang di Pengadilan Negeri yang kedua adalah permohonan untuk menetapkan status keahliwarisan. Status keahliwarisan ditentukan dalam suatu gugatan.

Permohonan untuk menetapkan seseorang atau lebih merupakan ahli waris almarhum atau almarhumah dilarang diajukan melalui Pengadilan Negeri. Menurut Mahkamah Agung, mengenai warisan , haruslah dilakukan dalam bentuk gugatan.

Dengan demikian, permohonan penetapan status keahliwarisan seseorang atau lebih tidak akan diterima di Pengadilan Negeri.  

Pada angka 13 dalam Buku II Mahkamah Agung[3] tersebut menjelaskan, bahwa untuk mengalihkan hak atas tanah, menghibahkan, mewakafkan, menjual, membalik nama sebidang tanah dan rumah, yang semula tercatat atas nama almarhum atau almarhumah, cukup dilakukan:

  1. Bagi mereka yang berlaku Hukum Waris Adat, dengan surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh ahli waris yang bersangkutan sendiri, yang disaksikan oleh Lurah dan diketahui Camat dan desa dan kecamatan tempat tinggal almarhum.
  2. Bagi mereka yang berlaku Hukum waris lain-lainnya, misalnya Warga Negara Indonesia keturunan Hindia, dengan surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh Balai Harta Peninggalan (perhatikan Surat Edaran Menteri, Direktur Jenderal Agraria, Kepala Direktorat Pendaftaran Tanah ub. Kepala Pembinaan Hukum, R. Soepandi tertanggal 20 Desember 1969. No. Dpt/ 112/63/12/69, yang terdapat dalam buku tontonan bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah, departemen dalam Negeri, Ditjen Agraria, halaman 85).

3. Permohonan untuk Menyatakan Suatu Dokumen Sah

Permohonan yang dilarang di Pengadilan Negeri poin ketiga adalah permohonan untuk menyatakan suatu dokumen atau sebuah akta adalah sah. Menyatakan suatu dokumen atau sebuah akta adalah sah harus dalam bentuk gugatan.

Mahkamah Agung tidak membenarkan pengadilan mengeluarkan penetapan atas adanya permohonan untuk menyatakan suatu dokumen atau sebuah akta adalah sah.

Apabila terjadi demikian, sebagaimana dikutip dari Pengadilan Negeri Klaten , maka produk dari permohonan tersebut adalah penetapan yang dapat diajukan kasasi. Di samping itu, terdapat beberapa cara membatalkan penetapan pengadilan .

Walaupun dalam redaksi undang-undang disebutkan bahwa pemeriksaan yang akan dilakukan oleh pengadilan atas permohonan dari pihak yang berkepentingan, antara lain sebagaimana dalam Pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Namun, hal tersebut tidak dapat diartikan sebagai perkara voluntair yang diperiksa secara ex parte karena di dalamnya terdapat kepentingan orang lain. Sehingga perkara tersebut harus diselesaikan dengan cara contentiusa, yaitu pihak-pihak yang berkepentingan harus ditarik sebagai Termohon, sehingga asas audi et alteram partem terpenuhi ….[4]

Pasal 70 Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa berbunyi:

Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

  1. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
  2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan.
  3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Meskipun dalam ketentuan di atas diatur mengenai permohonan pembatalan, akan tetapi, menurut Mahkamah Agung hal ini harus diajukan dalam bentuk gugatan.

Penutup

Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara perdata baik dalam bentuk gugatan maupun permohonan.

Akan tetapi, tidak semua jenis permohonan dapat diajukan melalui pengadilan tersebut. Ada permohonan yang dilarang di Pengadilan Negeri, antara lain:

Pertama, Permohonan untuk menetapkan status kepemilikan. Kedua, Permohonan untuk menetapkan status keahliwarisan seseorang. Ketiga, Permohonan untuk menyatakan suatu dokumen sah.

Jadi, sudah tahu, kan apa saja permohonan yang dilarang di Pengadilan Negeri?

Demikian. Semoga bermanfaat.


[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Yogjakarta: Liberty: 1998., hlm., 169.

[2] Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan, Buku II Edisi 2007, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2009), halaman 47.

[3] Mahkamah Agung RI., ibid., hlm., 47.

[4] Ibid., hlm., 44.

Tinggalkan Balasan