Last Updated: 26 Feb 2022, 08:57 pm
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan bagian dari Mahkamah Agung. Dalam ketentuan Pasal 24[1] Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) menyebutkan bahwa:
Ayat (1). Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Ayat (2). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Kita bisa membandingkan hasil amandemen ke empat dengan amandemen ketiga. Sangat berbeda. Pasal 24[2] UUD 1945 menyebutkan:
Ayat (1). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Ayat (2). Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.
Pasal 24 amandemen ke empat lebih jelas dan tegas menyebutkan.
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan kehakiman di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara“.
Di Indonesia, ada beberapa tingkatan peradilan. Kedudukan Mahkamah Agung lebih tinggi dari badan peradilan lainnya.
Dengan kata lain, membawahi Pengadilan Negeri ↗, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Militer. Semuanya disebut sebagai peradilan tingkat pertama. Pengadilan Tinggi disebut sebagai tingkat banding. Semua itu adalah jenis Pengadilan di Indonesia ↗.
Daftar Isi
1. Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Tulisan ini spesifik mengulas tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
1.1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Mulanya, Peradilan Tata Usaha Negara diatur melalui UU 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU Peratun).
1.2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
Perkembangan zaman berubah. Situasi tidak memungkinkan untuk mempertahankan UU Peradilan Tata Usaha Negara Nomor 5 Tahun 1986 tersebut. Perubahan tersebut melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
1.3 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
Kali kedua diubah. Melalui Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Kita bisa melihat mengenai kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara ini dalam UU tersebut. Misalnya dalam ketentuan Pasal 47 yang menyebutkan:
“Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara”.
Dengan demikian, Pengadilan Tata Usaha negara mempunyai kewenangan untuk menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara yang diajukan ke pengadilan.
Untuk itulah disebut sebagai kompetensi atau kewenangan mengadili.
2. Apa itu Peradilan Tata Usaha Negara
Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 4.[3]
“Peradilan tata usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha Negara.”
Indroharto dalam bukunya menyatakan[4] “… Pengertian dasar hukum TUN guna memahami keseluruhan maksud dan tujuan UU ini juga terdapat pengaturan yang sumir dalam beberapa pasal dari UU tersebut, antara lain dalam pasal-pasal 1 sampai dengan 3 UU ini. dari ketentuan Pasal 1 Ayat 1 UU tersebut yang mengatakan, ‘Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di pusat maupun di daerah,”.
3. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
Pengadilan Tata Usaha Negara dalam UU di atas merupakan pengadilan tingkat pertama. Hal ini secara tegas diatur dalam ketentuan Pasal 50[5].
“Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama”.
Sementara untuk tingkat banding, merupakan kewenangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1)[6].
“Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding”.
Namun, selain PTTUN mengadili sengketa Tata Usaha Negara pada tingkat banding, PTTUN juga mempunyai tugas dan berwenang untuk memeriksa dan memutus di tingkat pertama. Mengapa demikian? Lihat ketentuan Pasal 51 ayat (2) dan (3)[7].
Ayat (2). “Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa ke Kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya.
Ayat (3). “Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48”.
Namun demikian, sebelum mengajukan sengketa ke pengadilan tata usaha negara, wajib menyelesaikan upaya administratif terlebih dahulu.
4. Sejarah Ringkas Keberadaan Peradilan TUN
4.1 Periode UUD 1945 hingga Pemerintahan Orde Baru
UUD 1945 mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Bab IX memuat 2 (dua) pasal, yaitu Pasal 24 dan Pasal 25. Pasal 24 ayat (1) berbunyi:
“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.”
Khusus tentang rencana pembentukan PTUN, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948. Undang-Undang tentang Susunan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan.
Bab II undang-undang di atas mengatur tentang peradilan administrasi. Spesifiknya “Peradilan Tata Usaha Pemerintahan”. Dimuat dalam 2 (dua) pasal, yaitu Pasal 66 dan Pasal 67.[8]
4.2 Periode Konstitusi RIS (Tanggal 27 Desember 1949-17 Agustus 1950)
Di dalam konstitusi RIS diatur di dalam Bab IV tentang “Pemerintahan” di bawah bagian III dan peradilan administrasi ditetapkan di dalam Pasal 161 dan 162 yang berbunyi sebagai berikut[9]:
Pasal 161. “Pemutusan tentang sengketa yang mengenai hukum tata usaha diserahkan kepada pengadilan, yang mengadili perkara perdata ataupun kepala alat perlengkapan lain. Tetapi jika demikian seboleh-bolehnya dengan jaminan yang serupa tentang keadilan dan kebenarannya”.
Pasal 162. “Dengan undang-undang federal, dapat diatur cara memutus sengketa, yang mengenai hukum tata usaha dan yang bersangkutan dengan peraturan-peraturan yang diakan dengan atau atas kuasa konstitusi ini atau yang diadakan dengan Undang-Undang Federal. Sedangkan peraturan-peraturan itu tidak langsung mengenai semata-mata alat alat perlengkapan dan penghuni satu daerah bagian saja, termasuk badan-badan hukum publik yang dibentuk atau diakui dengan atau atas kuasa undang-undang daerah bagian itu“.
Di dalam periode Konstitusi RIS ini pun, belum terlihat adanya upaya tentang pembentukan PTUN itu sebagai pranata khusus. Baru dalam taraf pengakuan akan adanya sengketa TUN. Sengketa itu perlu diadili dari segi hukum (kontrol yuridis). Kemajuan yang ditemukan di sini adalah, sengketa TUN itu tidak saja hanya diselesaikan melalui pranata pengadilan. Akan tetapi, dilakukan pranata administrasi itu sendiri.[10]
4.3 Periode UUDS 1950 (Tanggal 17 Agustus 1950-5 Juli 1959)
Bagian III UUD 1950 mengatur tentang “Pengadilan”. Di dalam Pasal 108 yang berbunyi:
“Pemutusan tentang sengketa yang mengenai Hukum Tata Usaha diserahkan kepada Pengadilan yang mengadili perkara perdata ↗ atau pun kepada alat-alat perlengkapan lain. Tetapi jika demikian seboleh-bolehnya dengan jaminan yang serupa tentang keadilan dan kebenaran. [11]
4.4 Periode Orde Baru hingga Terbentuknya PTUN
Menurut Sjachran Basah sebagaimana dikutip Lintang O. Siahaan. Bahwa telah pernah ada beberapa rancangan undang-undang tentang upaya pembentukan PTUN. Tetapi berhubung belum adanya kesepakatan, tidak berhasil disahkan sebagai undang-undang di DPR ↗, seperti RUU Tahun 1949 ….[13]
4.5 Peradilan Tata Usaha Negara Era Reformasi
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) resmi terbentuk dan dijalankan sejak tanggal 14 Januari 1991. Landasan yuridis atas pembentukan PTUN yang pertama kali adalah berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 1991 Tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Ujung Pandang.
Selanjutnya, ada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1991 Tentang Penerapan UU 5/1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara.
5. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
Kompetensi biasa juga disebut sebagai kewenangan. Mengenai kompetensi, kita kenal terdiri dua. Kompetensi relatif dan absolut.
5.1 Apa itu Kompetensi Relatif?
Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya.
Suatu badan peradilan dinyatakan berwenang memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan suatu perkara apabila salah satu pihak sedang bersengketa. Salah satu pihak tersebut berkedudukan pada daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu.
Mengenai PTUN, dapat kita jumpai dalam ketentuan Pasal 6[16].
Ayat (1). “Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota“.
Ayat (2). “Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.”
Kita juga bisa menjumpai mengenai kompetensi ini dalam ketentuan Pasal 54[17]
5.2 Apa itu Kompetensi Absolut?
Kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Kewenangan tersebut berkaitan dengan mengadili suatu perkara menurut obyek atau materi atau pokok sengketa.
Mengenai hal tersebut. Kewenangan Pengadilan TUN diatur dalam Pasal 1 angka 10 UU 51/2009.
”Sengketa tata usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Keputusan Tata Usaha Negara dapat kita jumpai dalam ketentuan Pasal 1 angka 9 UU 51/2009.
“suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual, dan final sehingga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Adapun yang menjadi obyek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking).
Keputusan tersebut diterbitkan oleh Badan atau Pejabat TUN.
Selanjutnya kita akan membahas Objek dan Subjek dalam Sengketa Tata Usaha Negara.
6. Objek dan Subjek dalam Sengketa Tata Usaha Negara
6.1 Objek Sengketa Tata Usaha Negara
Keputusan Tata Usaha Negara ↗ menurut ketentuan Pasal 1 angka 9[18] adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual, dan final, sehingga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Mengutip Ujang Abdullah sebagaimana dikutip dari laman PTUN Palembang ↗, terdapat beberapa objek dalam sengketa TUN, antara lain:
Keputusan tentang Perijinan
Secara yuridis, suatu ijin merupakan persetujuan yang diberikan pemerintah kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk melakukan aktivitas tertentu.
Keputusan tentang Status Hukum, Hak, dan Kewajiban
Status hukum perorangan atau Badan Hukum Perdata, misalkan: akta kelahiran ↗, akta kematian, akta pendirian/pembubaran badan hukum, KTP, Ijazah, Sertifikat (Tanda Lulus Ujian), dan sebagainya).
Keputusan tentang Kepegawaian
Keputusan tentang mutasi PNS atau ASN. Selain itu, Keputusan tentang pemberhentian sebagai ASN, dan sebagainya.
Namun demikian, ada pembatasan terhadap objek sengketa yaitu pembatasan langsung, pembatasan tidak langsung dan pembatasan langsung bersifat sementara.
Apa itu Pembatasan Langsung?
Pembatasan langsung adalah pembatasan yang tidak memungkinkan sama sekali bagi Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tersebut. Misalnya, keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata. Hal ini biasa disebut Teori Melebur ↗.
Selain itu, ada keputusan yang dikeluarkan dalam waktu perang. Keadaan bahaya. Atau keadaan bencana alam.
Apa itu Pembatasan Tidak Langsung?
Pembatasan tidak langsung adalah pembatasan yang masih membuka kemungkinan bagi PTTUN untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa administrasi. Dengan ketentuan, seluruh upaya administratif yang tersedia telah ditujukan terlebih dahulu oleh subjek.
Apa itu Pembatasan yang Bersifat Sementara?
Pembatasan Langsung yang Bersifat Sementara karena tidak terbuka kemungkinan sama sekali bagi Peratun untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikannya. Akan tetapi, hal tersebut hanya bersifat sementara.
Apa itu Pembatasan Karena Lahirnya Perundang-undangan yang Baru?
Pembatasan karena lahirnya peraturan perundang-undangan ↗ yang baru. Misalnya, sengketa mengenai Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi, sebelumnya sengketa yang tidak berkaitan dengan penetapan hasil Pemilu menjadi wewenang Peratun.
Pembatasan karena Yurisprudensi Mahkamah Agung R.I
Beberapa Keputusan yang tidak dapat menjadi objek di Peradilan Tata Usaha karena adanya Yurisprudensi ↗ MA RI[19], misalnya Risalah Lelang ↗, sengketa kepemilikan tanah ↗.
Di samping semua hal-hal di atas, setidaknya terdapat 13 perkara yang menjadi kewenangan PTUN ↗. Kewenangan mengadili tersebut sebagai konsekuensi atas perluasan makna keputusan tata usaha negara ↗.
6.2 Subjek dalam Sengketa Tata Usaha Negara
6.2.1 Penggugat
Penggugat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingan dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tata usaha negara agar Keputusan tata usaha negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau disertai tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi[20].
6.2.2 Tergugat
Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara, yang mengeluarkan keputusan TUN ↗. Keputusan tersebut berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. [21]
6.2.3 Pihak Ketiga yang berkepentingan
Dalam proses berjalannya sengketa, tidak menutup kemungkinan ada pihak ketiga ↗ yang berkepentingan. Atas prakarsa hakim, saat pemeriksaan sengketa berlangsung, pihak ketiga masuk dalam sengketa.
7. Simpulan
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan bagian dari Mahkamah Agung. Yang mempunyai tugas dan wewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer berada di bawah Mahkamah Agung.
Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya.
Kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Kewenangan tersebut berkaitan dengan mengadili suatu perkara menurut obyek atau materi atau pokok sengketa.
Pengadilan TUN memiliki kompetensi daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota. Sementara Pengadilan Tinggi TUN berwenang mengadili daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.
Kompetensi mengadili, PTUN berwenang mengadili sengketa yang timbul dari perbuatan pemerintahan.
Pengadilan TUN, juga berwenang memeriksa dan mengadili sengketa Perbuatan Melanggar Hukum oleh Penguasa ↗.
[1] UUD 1945 Amandemen Ke empat
[2]UUD 1945 Amandemen Ke tiga
[3] Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
[4] Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I Beberapa Pengeritan Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994., hlm. 27-28.
[5] Anda bisa melihat UU Nomor 5 Tahun 1986
[6] UU Nomor 5 Tahun 1986
[7] UU Peratun
[8] Lintong O. Siahaan, Prospek PTUN Sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa Administrasi di Indonesia; Studi Tentang Keberadaan PTUN Selama Satu Dasawarsa 1991-2001, Perum Percetakan Negara RI, Cetakan Pertama, 2005., hlm. 145.
[9] Lintang O. Siahaan, Ibid., hlm. 146-147.
[10] Lintang O. Siahaan., ibid., hlm. 147.
[11] Lintang O. Siahaan., Ibid.
[12] Lintang O. Siahaan., Ibid., hlm. 149.
[13] Sjahran Basah, Op.Cit., hlm. 103-104.
[14] Wet Administratief Rechtspraak en Overheids Beschikkingen (wet AROB) merupakan undang-undang di negara Belanda sebagai pengganti Wet Beroep Administratieve Beschikkingen (BAB).
[15] Bagir Manan, Prospek Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, disampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional MA-RI Dengan Jajaran Peradilan Tata Usaha Negara Se Indonesia Tahun 2008, di Hotel Panghegar Bandung, 14-16 Januari 2008., hlm. 10.
[16] UU Nomor 9 Tahun 2004.
[17] UU Nomor 5 Tahun 1986.
[18] Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.
[19] Puslitbang Hukum dan Peradilan MA RI, Kumpulan Putusan Yurisprudensi TUN, Cetakan Kedua, Jakarta, 2005.
[20]Lihat Pasal 53 ayat (1) UU Peratun.
[21] Lihat Pasal 1 angka 6 UU Peratun.
[22] Pasal 83 ayat (1) UU Peratun.