Last Updated: 13 Nov 2021, 01:52 pm
Dari pertarungan dua pakar hukum tata negara di Indonesia itu, kita layak menanti-nantikan apa hasil putusan Mahkamah Agung.
Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Yusril Ihza Mahendra mengagetkan publik. Pasalnya, Yusril menjadi Kuasa Hukum empat orang kader Partai Demokrat kubu Moeldoko untuk melakukan Judicial Review.
Judicial Review tersebut diajukan melalui Mahkamah Agung. Terhadap AD/ART Partai Demokrat, yang dinilai tim KLB bertentangan dengan Undang-Undang Parpol.
Sebagai praktisi hukum, ini hal menarik bagi saya. Sebab, dalam sejarah Indonesia, baru kali ini saya mendengar atau mengetahui AD ART Parpol dijadikan objek Judicial Review di Mahkamah Agung.
Dalam beberapa pernyataannya di media, Yusril mengatakan, Partai Politik beberapa kali disebut dalam UUD dan UU. Menurutnya, betapa besar pengaruh parpol dalam ketatanegaraan Indonesia. Sehingga, Anggaran Dasar Parpol tidak boleh dibuat seenak udel. Harus sesuai dengan UU yang mengaturnya.
Sehingga, untuk urusan prosedur pembentukan dan materi pengaturan AD ART, lebih baik diuji formil dan materiil oleh Mahkamah Agung.
Muncul pertanyaan:
Daftar Isi
Apakah AD/ART Partai Demokrat Bisa Disebut Objek Uji Materi?
Baik dalam konstitusi maupun dalam peraturan perundang-undangan yang ada, tidak disebutkan AD/ART sebagai objek uji materi.
Berdasarkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945[1] menyebutkan:
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang undang”
Dari ketentuan di atas. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Serta mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Muncul lagi pertanyaan:
Apakah AD/ART Parta Demokrat Sebuah Peraturan di Bawah Undang-Undang?
Untuk mengetahui pertanyaan tersebut, kita dapat mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan:
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- PP;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas. Bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Tidak disebutkan bahwa AD/ART Partai Politik bagian dari peraturan perundang-undangan. Namun saya berpikir, AD ART bagian dari undang-undang bagi anggota partai politik dimaksud. Misalnya AD ART Partai Demokrat. Itu mengatur internal parpol tersebut, yang artinya undang-undang yang mengikat bagi kader mereka.
Baca juga: Bantuan Hukum Gratis adalah Hak Warga Negara
Tentang Lazim dan Tak Lazim
Tindakan Yusril yang mencoba Judicial Review AD/ART Partai Demokrat memang di luar kelaziman. Karena dalam sejarahnya, belum pernah ada yang melakukan hal demikian itu.
Namun, di luar ketidaklaziman itu, tindakan Yusril merupakan suatu terobosan hukum. Di samping itu, tidak ada larangan—siapa pun yang dapat mengajukan Judicial Review.
Dia ingin membuka kekosongan hukum yang terjadi. Karena tidak ada pengaturan apabila ada AD/ART yang bertentangan dengan UU Parpol, ke mana harus mengujinya.
Menguji ke Mahkamah Partai Politik pun tidak memungkinkan. Dalam UU Parpol misalnya, yang dapat diselesaikan oleh Mahkamah Partai adalah mengenai perselisihan keanggotaan. Sebagai contoh terjadi pemecatan anggota. Mahkamah Parpol bukan forum untuk menyelesaikan masalah AD/ART.
Apabila Yusril Ihza Mahendra berhasil meyakinkan Mahkamah Agung mengenai permohonannya tersebut, maka Yusril akan dikenang sejarah. Sebab, melakukan ‘kelakuan’ hukum baru di Indonesia.
Prinsip Prof. Yusril
Hal yang tak lumrah dilakukan orang lain, namun dilakukan Yusril adalah melakukan upaya hukum terhadap putusan pelanggaran lalu lintas.
Dalam sebuah Youtube, Pakar Hukum Tata Negara ini menceritakan peristiwa dia ditilang pada 90-an.
Hakim tingkat pertama memutuskan Yusril Ihza Mahendra bersalah dengan membayar denda tiga puluh ribu rupiah. Atas putusan tersebut, Yusril mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Setelah hampir 8-9 tahun, Hakim MA mengatakan Yusril tidak bersalah.
Dalam akun Youtube tersebut, Yusril memiliki prinsip yang harus ditegakkan.
“Hukum tidak bisa dipermainkan. Dan saya tidak mau kompromi. Kalau saya merasa benar, sampai kiamat pun saya akan bertahan apa pun risikonya.”
Prof. Yusril Ihza Mahendra
Kembali ke JR AD ART. Argumentasi hukum yang diberikan tim Yusril memang belum lengkap kita terima. Pada akhirnya kita akan bertanya-tanya:
Apakah bisa AD ART Partai dilakukan Judicial Review ke MA? Dan MA berwenang memeriksa dan mengadili permohonan tersebut?
Pertanyaan pertanyaan di atas kemungkinannya akan dibantah oleh tim Hamdan Zoelva. Mereka juga akan habis-habisan membangun argumentasi hukum.
Prof Yusril VS Hamdan Zoelva
Belakangan, Hamdan Zoelva ditunjuk sebagai Kuasa Hukum tim AHY. Seperti kita tahu, Hamdan Zoelva adalah Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, yang juga jago dalam hukum tata negara.
Artinya, antara Yusril dengan Hamdan sama-sama ahli Hukum Tata Negara, yang akan bertarung—membangun dalil-dalil hukum agar menang di Mahkamah Agung.
Seperti kita tahu, antara Yusril dengan Hamdan sama-sama kader Partai Bulan Bintang (PBB). Hamdan Zoelva juga pernah menjadi staf khusus Yusril ketika menjadi Mensesneg. Yusril pula yang menjadi co-promotor ketika Hamdan mengambil gelar Doktor di UNPAD.
Dari pertarungan dua pakar hukum tata negara di Indonesia itu, kita layak menanti-nantikan apa hasil putusan Mahkamah Agung.
[1] Amandemen Ketiga