Lompat ke konten

Tentang Pembatalan Sertifikat Hak atas Tanah

Bacaan 8 menit

Last Updated: 19 Mar 2022, 06:28 am

pembatalan sertifikat hak atas tanah
Sertifikat hak atas tanah. Sumber gambar: rumah.com

Pembatalan sertifikat hak atas tanah oleh pengadilan telah banyak terjadi. Pembatalan sertifikat hak atas tanah tersebut, salah satunya disebabkan oleh tumpang tindih sertifikat tanah. Pertanyaannya, peradilan manakah yang berwenang membatalkan?

Pertanyaan di atas tentu saja bermuara pada kompetensi peradilan—yang nantinya akan terjawab di bawah.

Artikel kali ini, bermaksud menuliskan tentang pembatalan sertifikat hak atas tanah melalui pengadilan. Namun, sebelum mengurai pada inti tulisan ini, alangkah baiknya mengenal beberapa hal di bawah ini.  

Hak Warga Negara

Salah satu hak warga negara di dalam negara hukum seperti Indonesia ini adalah mengajukan gugatan. Gugatan atau tuntutan tersebut dilakukan apabila terjadi pelanggaran atas hak-haknya oleh subjek hukum lain. Diajukannya melalui pengadilan yang tentu saja sesuai dengan kewenangan pengadilan itu.

Pengadilan melalui Hakim—yang diberi wewenang oleh undang-undang akan memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan sengketa dimaksud.

Hak atas Tanah dan Pembatalan Hak atas Tanah

Apa itu hak atas tanah? Hak atas tanah menurut Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (Permen BPN No. 9/1999). Ketentuan Pasal 1 angka 1 menentukan:

Hak atas Tanah adalah hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- pokok Agraria, dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun“.

Apa itu Pembatalan Sertifikat Hak atas Tanah? Pasa 1 angka 14 Permen BPN No. 9/1999 menentukan:

Pembatalan hak atas tanah adalah pembatalan keputusan pemberian suatu hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap“.

Jenis Sertifikat Hak atas Tanah

Dalam artikel Bisakah Pengadilan Negeri Membatalkan SHM ? Saya sudah mengurai pengertian dan jenis-jenis sertifikat hak atas tanah. Saya mengutip kembali secara ringkas antara lain, Sertifikat Hak Milik (SHM, Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU), HGB, Sertifikat Hak Pakai, dan Sertifikat Hak Satuan Rumah Susun (SHSRS).

Tentang Kompetensi Peradilan

Dalam artikel Peradilan Tata Usaha Negara , saya juga sudah menuliskan tentang kompetensi peradilan ini. Namun, saya kembali mengutip ketentuan Pasal 24[1] amandemen ke empat menyebutkan.

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan kehakiman di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara“.

Artinya, kekuasaan kehakiman menurut pasal di atas, Mahkamah Agung membawahi Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Militer.

Perlindungan Hukum Pemilik Sertifikat Hak atas Tanah

Sebelumnya juga disebutkan salah satu pentingnya mempunyai sertifikat hak atas tanah—adalah demi kepastian hukum. Hak tersebut menjadi terlindungi. Bidang tanah yang telah bersertifikat secara sah, maka terlindungi oleh hukum.

Hal tersebut dapat kita lihat melalui ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997). Ketentuan ini mengatur:

Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya. Maka, pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.”

Untuk lebih memahaminya, saya mengutip penjelasan Pasal 32 ayat (2) tersebut:

Pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem publikasi positif, yang kebenaran data yang disajikan dijamin oleh Negara, melainkan menggunakan sistem publikasi negatif. Di dalam sistem publikasi negatif Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Tetapi walaupun demikian tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi negatif secara murni.”

Hal tersebut tampak dari pernyataan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA. Bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat dan dalam Pasal 23, 32, dan 38 UUPA.

Pendaftaran berbagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian yang kuat. Selain itu, dari ketentuan-ketentuan mengenai prosedur pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, dan penyajian data fisik dan data yuridis, serta penerbitan sertifikat dalam Peraturan Pemerintah ini.

Tampak jelas usaha untuk sejauh mungkin memperoleh dan penyajian data yang benar, karena pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum. Sehubungan dengan itu diadakanlah ketentuan dalam ayat (2) ini.

Dari uraian di atas, meskipun ada jaminan mengenai kepastian hukum, akan tetapi ada kemungkinan adanya gugatan dari pihak lain. Hal ini karena sistem publikasi negatif—yang artinya Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan—dalam penerbitan sertifikat.

Gugatan ini dilakukan bisa dalam dua bentuk. Pertama, menuntut agar menyatakan sertifikat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kedua, menuntut agar sertifikat dinyatakan batal atau tidak sah.

Dari kedua bentuk tersebut, bermuara bukan pada satu peradilan. Akan tetapi, dua badan peradilan. Mengenai hal itu, kita kembali ke pertanyaan di atas: peradilan mana yang berwenang pembatalan sertifikat hak atas tanah?

Jenis Peradilan di Indonesia Beserta Kewenangannya

Pembahasan jenis pengadilan ini akan bermuara pengadilan mana yang berwenang pembatalan sertifikat hak atas tanah. Dari empat peradilan di bawah Mahkamah Agung, masing-masing mempunyai kewenangan yang berbeda.  

Peradilan Umum

Peradilan Umum misalnya, memiliki wewenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata. Contohnya perbuatan melawan hukum .

Peradilan Agama

Sementara Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam. Contohnya perkara tentang dispensasi kawin .

Peradilan Militer

Untuk Peradilan Militer berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peradilan Tata Usaha Negara

Sementara Peradilan Tata Usaha Negara berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kewenangan Pembatalan Sertifikat Hak atas Tanah

Dari 4 badan peradilan di atas, hanya ada 2 (dua) yang memungkinkan memeriksa dan mengadili sengketa sertifikat hak atas tanah. Adalah peradilan umum dan peradilan tata usaha negara.

Namun kita kembali ke pertanyaan mendasar, peradilan mana yang berwenang pembatalan sertifikat hak atas tanah?

Untuk menjawab pertanyaan pembatalan sertifikat hak atas tanah, kita berpijak pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Pengadilan Negeri ini sering juga disebut sebagai Pengadilan Perdata—yang berwenang memeriksa, memutus, dan mengadili sengketa hak milik atas tanah.

Artinya, dalam sengketa hak milik atas tanah, esensi dari Pengadilan Perdata hanya memeriksa, memutus, serta mengadili sengketa kepemilikan hak milik atas tanah. Sehingga, PN tersebut memeriksa tentang subjek hukum mana yang berhak atas tanah yang disengketakan.

Berpijak argumentasi di atas, PN tidak berwenang memeriksa, mengadili, serta memutus tentang prosedur dan substansi penerbitan sertifikat yang disengketakan. Karena hal tersebut bersifat administrasi dari suatu sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang.

Untuk memeriksa, memutus, dan mengadili terkait dengan prosedur dan substansi sebuah sertifikat dilakukan oleh Peradilan Tata Usaha Negara. Sehingga dapat disimpulkan, pembatalan sertifikat hak atas tanah merupakan kewenangan PTUN.

SEMA Nomor 10 Tahun 2020

Hal ini, dapat kita lihat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2020 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

SEMA tersebut menyebutkan mengenai kewenangan menilai kekuatan sertifikat. Hakim Perdata tidak berwenang membatalkan sertifikat, namun hanya berwenang mengatakan sertifikat tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan dasar tidak mempunyai alas hak yang sah.

Yurisprudensi tentang Pembatalan Sertifikat Hak atas Tanah

Kita juga bisa melihatnya melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung, sebagai berikut:

1. Putusan Nomor 383 K/Sip/1971

Putusan Nomor 383 K/Sip/1971, tanggal 3 Nopember 1971 adalah salah satu yurisprudensi yang menjadi rujukan dalam artikel ini. Pertimbangan hukum, putusan tersebut menyebutkan:

“… Pembatalan suatu akta hak milik yang dikeluarkan oleh instansi Agraria secara tidak sah bukan wewenang pengadilan, melainkan semata-mata wewenang administrasi ….“.

2. Putusan Nomor 93 K/TUN/1996

Yurisprudensi lain dapat dilihat putusan Mahkamah Agung RI Nomor 93 K/TUN/1996, tanggal 24 Februari 1998, dan Nomor: 16 K/TUN/2000, tanggal 28 Februari 2001 yang memuat kaidah hukum:

Gugatan mengenai fisik tanah dan kepemilikannya adalah wewenang dari peradilan perdata untuk memeriksa dan memutuskannya.”

Artinya persoalan kepemilikan dan letak suatu bidang tanah adalah kewenangan Pengadilan Perdata untuk memutus dan mengadilinya, sementara Peradilan Tata Usaha Negara Jakarta berwenang mengadili sengketa untuk menguji dari segi prosedur dan substansi penerbitan sertifikat hak atas milik.

PTUN tidak Berwenang Apabila Masih Disengketakan di Pengadilan Lain

Pembatalan sertifikat hak atas tanah bukan merupakan kewenangan PTUN apabila masih dalam sengketa di pengadilan lain. Artikel ini mengutip setidaknya dua putusan dimaksud, antara lain:

1. Putusan Nomor: 308 K/TUN/2020

Hal ini tergambar dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 308 K/TUN/2020 , tanggal 12 Agustus 2020. Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa gugatan pembatalan sertifikat hak atas tanah yang masih tersangkut sengketa harta warisan.

Sengketa ini menyangkut harta warisan. Menurut Mahkamah Agung, siapa yang berhak atas harta warisan, penyelesaiannya merupakan kewenangan peradilan Perdata dan Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang untuk mengadilinya.

2. Putusan Nomor: 473 K/TUN/2020

Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 473 K/TUN/2020 , tanggal 4 November 2020, pada pokoknya memberikan kaidah hukum sebagai berikut:

Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa pembatalan sertipikat hak atas tanah apabila tanah tersebut masih mengandung sengketa kepemilikan“.

Dari uraian di atas, kewenangan untuk menyatakan sertifikat hak atas milik batal atau tidak sah adalah kewenangan peradilan tata usaha negara. Akan tetapi, apabila masih mengandung sengketa baik hak atas waris maupun kepemilikan, maka PTUN tidak berwenang mengadili dan memeriksa sengketa pembatalan sertifikat hak atas tanah.

Pembatalan Sertifikat Hak atas Tanah

Pembatalan sertifikat hak atas tanah telah disinggung di atas. Setelah adanya putusan pengadilan peradilan tata usaha negara yang berkekuatan hukum tetap, selanjutnya:

Pencatatan hapusnya hak atas tanah, hak pengelolaan dan hak milik atas satuan rumah susun berdasarkan putusan Pengadilan dilakukan setelah diperoleh surat keputusan mengenai hapusnya hak yang bersangkutan dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1).[2]

Putusan Pengadilan mengenai hapusnya sesuatu hak harus dilaksanakan lebih dahulu oleh Pejabat yang berwenang, sebelum didaftar oleh Kepala Kantor Pertanahan”[3]

Simpulan

Pembatalan sertifikat hak atas tanah dilakukan melalui gugatan ke peradilan tata usaha negara. Peradilan tata usaha negara melalui hakim berwenang menyatakan sertifikat hak atas tersebut batal atau tidak sah.

Sementara peradilan umum hanya dapat menyatakan sertifikat hak atas tanah tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sengketa ini menyangkut kepemilikan hak atas objek tanah.  

Sehingga dapat disimpulkan, pengadilan yang berwenang terkait dengan pembatalan sertifikat hak atas tanah adalah peradilan tata usaha negara.

Demikian. Semoga bermanfaat.


[1] Amandemen Ke empat Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

[2] Lihat ketentuan Pasal 55 ayat (3) PP 24/1997

[3] Lihat ketentuan Pasal 55 ayat (3)

Tinggalkan Balasan