Last Updated: 06 Mar 2022, 09:24 pm
Peninjauan kembali (PK) merupakan upaya hukum luar biasa, yang dapat digunakan bagi pihak yang tidak puas terhadap putusan Judex Facti atau Judex Juris. Judex Facti adalah pengadilan tingkat pertama dan banding. Sementara Judex Facti adalah pengadilan tingkat kasasi.
Alasan PK perdata, pidana, Tata Usaha Negara ↗, dan sengketa lainnya telah diatur sedemikian rupa. Sehingga, upaya hukum PK ini haruslah memenuhi syarat formal ↗.
Artikel kali ini, secara khusus membahas alasan PK perdata dengan dasar adanya putusan pidana. Apakah dimungkinkan putusan pidana sebagai bukti baru PK perkara perdata? Dan, apakah putusan pidana tersebut harus berkekuatan hukum tetap ataukah cukup putusan di pengadilan tingkat pertama saja?
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan kita jawab secara sederhana—yang tentu saja berpijak pada peraturan perundang-undangan ↗ yang berlaku.
Sebelum membahas lebih rinci alasan PK perdata, sebaiknya mengetahui apa itu PK?
Daftar Isi
Apa itu Peninjauan Kembali (PK)?
Kamus Hukum[1] mendefinisikan Peninjauan kembali adalah permohonan untuk meninjau ulang putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap, karena adanya perkembangan (hal-hal) baru yang dulu tidak diketahui oleh hakim.
Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI ↗) mendefinisikan:
“Peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada tingkat pertama dan terakhir karena diketahuinya hal-hal baru (novum) yang dulu tidak diketahui sewaktu perkaranya diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan; disingkat PK“.
Menurut saya, secara sederhana, peninjauan kembali adalah upaya hukum sebagai peninjauan terhadap putusan pengadilan ↗ yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Putusan inkracht dimaksud adalah: pertama, terhadap putusan Pengadilan Negeri yang tidak dilakukan upaya hukum banding. Kedua, Putusan Pengadilan Tinggi yang tidak dilakukan upaya hukum kasasi. Ketiga, Putusan kasasi. Putusan kasasi ini adalah putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Sebagaimana telah diatur melalui Pasal 28 ayat (1) huruf c, salah satu kekuasaan Mahkamah Agung adalah: Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Alasan PK Perdata
Alasan PK perdata dengan dasar putusan pidana tetap mengacu pada ketentuan Pasal 67 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Ketentuan tersebut berbunyi:
Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
- apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat ↗ pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
- apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
- apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
- apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
- apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
- apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Tulisan ini secara khusus membahas alasan PK perdata dengan dasar pada huruf a yaitu “apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana ↗ dinyatakan palsu”.
Menurut M. Yahya Harahap[2], … alasan peninjauan kembali bersifat limitatif. Artinya, alasan permohonan peninjauan kembali hanya terbatas atas alasan yang disebut secara enumeratif satu persatu dalam pasal tersebut. Tidak boleh ditambah di luar yang disebut pada pasal itu. Alasan yang demikian dianggap tidak memenuhi ketentuan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Tenggang Waktu Peninjauan Kembali
Untuk dapat mengajukan PK, dengan alasan PK perdata karena adanya putusan pidana, terdapat tenggang waktu. Tenggang waktu ↗ dimaksud telah diatur melalui ketentuan Pasal 69 UU Mahkamah Agung, yang menentukan:
Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk:
- yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
- yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
- yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
- yang tersebut pada huruf e sejak sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.
Alasan PK Perdata dengan Dasar Putusan Pidana
Untuk dapat menjawab pertanyaan alasan PK perdata dengan dasar putusan pidana—apakah harus berkekuatan hukum tetap atau tidak—adalah merujuk pada ketentuan.
Salah satu ketentuan yang mengatur adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2021 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (SEMA No. 5 Tahun 2021).
Huruf B angka 1 SEMA No. 5 Tahun 2021 ini mengatur alasan PK perdata, yaitu:
- putusan pidana yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali sebagai alasan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 67 huruf a UU Mahkamah Agung, dapat diterima hanya apabila putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap, berisi amar terbuktinya perbuatan pidana yang berkaitan secara langsung dengan substansi putusan perkara perdata objek permohonan PK, dan diajukan dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 69 UU Mahkamah Agung.
- Putusan pidana yang diajukan Pemohon Peninjauan Kembali sebagai alasan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 67 huruf b UU Mahkamah Agung dapat diterima hanya apabila putusan pidana tersebut, selain memenuhi ketentuan Pasal 67 huruf a telah ada, tetapi tidak ditemukan ketika perkara perdata objek PK tersebut diperiksa oleh pengadilan tingkat pertama.
Dari penjelasan SEMA di atas, alasan PK perdata dengan dasar putusan pidana, haruslah berkekuatan hukum tetap.
Namun, menurut Ali Marwan Hasibuan[3] dalam Jurnal Yudisial ↗, alasan PK perdata sebagaimana Pasal 67 huruf a harus memenuhi kriteria berikut:
- Putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan, dan kebohongan atau tipu muslihat itu diketahui setelah perkaranya putus;
- Putusan didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
Menurutnya, dalam praktik peradilan, alasan peninjauan kembali kebohongan atau tipu muslihat, jarang ditemukan. Sulit mewujudkan secara konkret dan objektif adanya kebohongan atau tipu muslihat dalam suatu putusan, kecuali apabila telah ada putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap menyatakan alat bukti yang digunakan pihak lawan adalah palsu setelah putusan perdata berkekuatan hukum tetap. Barulah alasan ini efektif dan memiliki daya untuk mengabulkan peninjauan kembali ….
Cara Mengajukan Peninjauan Kembali
Permohonan peninjauan kembali diajukan melalui Pengadilan Negeri tempat perkara tersebut diputus. Pengadilan Negeri kemudian mengirimkan berkas PK ke Mahkamah Agung apabila memenuhi ketentuan yang berlaku.
Mengutip laman Pengadilan Negeri Palopo ↗, beberapa syarat permohonan PK sebagai berikut:
- Permohonan PK diajukan kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri yang mengadili perkara bersangkutan, disertai dengan Memori PK.
- Permohonan PK diajukan dalam waktu 180 hari kalender sebagaimana disebutkan di atas.
- Apabila Permohonan PK yang diajukan melampaui tenggang waktu, tidak dapat diterima dan berkas perkara tidak perlu dikirimkan ke Mahkamah Agung dengan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri.
- Membayar panjar biaya PK melalui bank yang ditunjuk Pengadilan Negeri bersangkutan.
- Pemohon PK atau kuasa hukumnya kemudian akan menerima akta pernyataan PK untuk ditandatangani.
- Jurusita/jurusita pengganti akan memberitahukan permohonan PK disertai salinan alasan-alasan PK kepada termohon PK.
- Termohon PK dapat mengajukan jawaban/tanggapan atas alasan-alasan PK dalam waktu 30 hari.
- Dalam waktu 30 hari setelah menerima jawaban tersebut berkas peninjauan kembali harus dikirim ke Mahkamah Agung.
Penutup
Alasan PK perdata dengan dasar adanya putusan pidana haruslah putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Hal ini secara tegas diatur melalui SEMA No. 5 Tahun 2021.
Artinya, putusan pidana yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali sebagai alasan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 67 huruf a UU Mahkamah Agung, dapat diterima hanya apabila putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap.
Itu pun harus memenuhi kriteria berupa terbuktinya perbuatan pidana yang berkaitan secara langsung dengan substansi putusan perkara perdata objek permohonan PK.
Jadi, apakah sudah memahami alasan PK perdata dengan dasar putusan pidana ↗?
Demikian. Semoga bermanfaat.
[1] Marwan & Jimmy, Kamus Hukum, Reality Publisher, Cetakan I, Surabaya: 2009., hlm., 500.
[2] M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta: 2008., hlm., 449- 450.
[3] Ali Marwan Hasibuan, Putusan Peninjauan Kembali Perkara Pidana Sebagai Novum dalam Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Jurnal Yudisial, Vol. 12, No. 1, April: 2019: 105-120., hlm., 113.