Lompat ke konten

Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH)

Bacaan 6 menit
anak yang berhadapan dengan hukum (abh)
Ilustrasi. Sumber gambar: dspppa.belitung.go.id

Ada begitu banyak kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Baik sebagai saksi, korban, maupun pelaku. ABH ini terjadi disebabkan berbagai faktor, misalnya karena broken home, atau tanpa perhatian dari keluarga terdekatnya. Sehingga melakukan pelanggaran hukum.

Artikel ini mencoba membahas secara mendalam apa itu anak yang berhadapan dengan hukum. Bukan hanya itu, peraturan perundang-undangan apa saja yang mengatur tentang ABH.

Perlu dipahami bahwa usia dewasa dalam 14 regulasi di Indonesia berbeda-beda. Namun, dalam Sistem Peradilan Anak ditetapkan usia anak sampai 18 tahun.

Untuk itu, apabila Anda sedang mencari informasi terkait dengan ABH dan segala turunannya, sudah tepat membaca artikel ini.

Pengaturan tentang Anak yang Berhadapan dengan Hukum

Di Indonesia, pengaturan terkait dengan anak yang berhadapan dengan hukum diatur di beberapa peraturan perundang-undangan . Ketentuan dimaksud antara lain Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).

Di samping itu terdapat juga Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selanjutnya hadir Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

Kita juga dapat merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun. Dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

Terdapat pula Peraturan Jaksa Agung No. 06/A/J.A/04/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi.

Begitu banyaknya peraturan yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan hukum. Sebab, penanganan perkara pidana anak berbeda dengan orang dewasa. Penanganan tindak pidana anak bersifat khusus.

Apa itu Anak yang Berhadapan dengan Hukum?

Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana[1].

Definisi ABH di atas terdapat beberapa unsur. Pertama, anak yang berkonflik dengan hukum. Kedua, anak yang menjadi korban tindak pidana. Ketiga, anak yang menjadi saksi tindak pidana. Mari kita urai satu persatu pengertian dari ketiga hal dimaksud.

Apa itu Anak yang Berkonflik dengan Hukum?

Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana[2].

Apa itu Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana?

Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana[3].

Apa itu Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana?

Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri[4].

Pihak yang Terlibat dalam Proses Anak yang Berhadapan dengan Hukum

1. Penyidik

Apa yang dimaksud penyidik dalam ABH? Penyidik yang dimaksud adalah Penyidik Anak

2. Penuntut Umum

Penuntut umum yang dimaksud adalah Penuntut Umum Anak.

3. Hakim

Hakim yang dimaksud adalah Hakim Anak.

4. Pembimbing Kemasyarakatan

Pembimbing kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana;

5. Advokat

Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

6. Pekerja Sosial Profesional

Pekerja sosial profesional adalah seseorang yang bekerja baik pada lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, dan atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan masalah sosial;

7. Pendamping

Pendamping adalah orang yang dipercaya oleh Anak untuk mendampinginya selama proses peradilan pidana berlangsung.

Tentang Diversi

Dalam setiap proses baik tingkat penyidikan, penuntutan, hingga persidangan, wajib mengutamakan diversi. Apa itu diversi? Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Dalam laman Pengadilan Negeri Bantul menyebutkan, Diversi adalah pengalihan proses pada sistem penyelesaian perkara anak yang panjang dan sangat kaku. Mediasi atau dialog atau musyawarah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam diversi untuk mencapai keadilan restoratif.

Terhadap proses diversi tersebut, dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Diancam pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun;
  2. Dan bukan pengulangan tindak pidana;

Apa Tujuan Diversi?

Mengapa harus ada diversi? Sebenarnya apa tujuannya? Mengenai hal tersebut, telah tertuang dalam ketentuan Pasal 6 UU SPPA sebagai berikut:

Diversi bertujuan:

  1. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
  2. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
  3. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
  4. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
  5. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Proses Diversi ini dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua atau walinya. Di samping itu juga menghadirkan korban dan/atau orang tua atau walinya. Selain itu, juga terdapat Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif (restorative justice).

Apa itu Keadilan Restoratif?

Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan[5].

Namun demikian, adakalanya proses diversi ini mengalami kebuntuan. Artinya tidak terdapat kesepakatan perdamaian. Hal ini yang membuat proses pemeriksaan anak akan berlanjut hingga ke tingkat pengadilan .

Sebab, kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku apabila tindak pidana yang dilakukan berupa pelanggaran. Selebihnya misalnya tindak pidana ringan;  tindak pidana tanpa korban; atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.

Bagaimana Proses Pemeriksaan Anak di Pengadilan?

Sebelum persidangan dilakukan, hakim wajib melakukan diversi. Dalam ketentuan Pasal 52 ayat (2) UU SPPA menyebutkan:

“Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai Hakim”.

Jangka waktu diversi oleh hakim ini dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari, yang dilakukan di ruang mediasi Pengadilan Negeri .

Namun, apabila ternyata diversi tidak berhasil, dilanjutkan dengan proses persidangan.

Semua pihak yang terlibat dalam proses anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana disebutkan di atas, tidak memakai toga atau atribut kedinasan. Hal ini secara tegas termuat dalam ketentuan Pasal 22 UU SPPA yang berbunyi:

“Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan petugas lain dalam memeriksa perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi tidak memakai toga atau atribut kedinasan”.

Perlu diketahui bahwa proses persidangan di pengadilan, dilakukan dengan hakim tunggal. Di samping itu, persidangan juga tertutup untuk umum—dikecualikan pembacaan putusan.

Jenis Pidana Anak

Berbeda dengan jenis pidana pada orang dewasa, jenis pidana anak sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 71 UU SPPA adalah sebagai berikut:

Pidana Pokok

Seperti juga sistem peradilan dewasa, sistem peradilan anak mengenal pidana pokok dan pidana tambahan. Hanya saja dalam pidana pokok jenisnya berbeda. Berikut ini jenis pidana pokok anak:

  1. pidana peringatan;
  2. pidana dengan syarat: 1). pembinaan di luar lembaga; 2) pelayanan masyarakat; atau 3) pengawasan.
  3. pelatihan kerja;
  4. pembinaan dalam lembaga; dan
  5. penjara.

Pidana Tambahan

Pidana tambahan terdiri atas:

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau

b. pemenuhan kewajiban adat.

Simpulan

Dari uraian di atas, kita sudah mengetahui apa itu anak yang berhadapan dengan hukum, keadilan restoratif, diversi, dan sebagainya.

Telah mengurai pula bahwa ternyata penanganan anak yang berhadapan dengan hukum berbeda dengan penanganan terhadap orang dewasa. Untuk penanganan ABH ini, lebih diutamakan diversi untuk mencapai keadilan restoratif.

Demikian. Semoga Bermanfaat.


[1] Lihat Ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).

[2] Lihat Ketentuan Pasal 1 angka 3 UU SPPA.

[3] Lihat Ketentuan Pasal 1 angka 4 UU SPPA.

[4] Lihat Ketentuan Pasal 1 angka 5 UU SPPA.

[5] Lihat Ketentuan Pasal 1 angka 6 UU SPPA.

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

Exit mobile version