Lompat ke konten

Apa itu Restorative Justice? Ini Penjelasannya

Bacaan 8 menit
apa itu restorative justice atau keadilan restoratif
Ilustrasi. Sumber gambar: teachhub.com

Restorative justice sering kita dengar terutama dari para penegak hukum. Hal ini terkait dengan dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang kepada subjek hukum lain. Namun demikian, mungkin sebagian dari kita belum memahami apa itu restorative justice.

Saat ini, restorative justice bukan hanya digunakan untuk penyelesaian terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Namun, pihak kejaksaan belakangan ini juga memberlakukan untuk pelaku tindak pidana dewasa.

Melalui artikel ini, hendak membahas tentang apa itu restorative justice, pengertian, dan penjelasannya, serta kapan harus digunakan.

Pengaturan Apa itu Restorative Justice

Sebelum membahas lebih mendalam apa itu restorative justice, artikel ini menitikberatkan pada peraturan perundang-undangan . Hal ini sebagai dasar dari dilakukannya restorative justice oleh aparat penegak hukum.

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 310;
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 205;
  3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
  4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
  5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT);
  6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
  7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
  8. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak;
  9. Konvensi CEDAW (The Convention on the Elemination of All From of Discrimination Against Women) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita;
  10. Konvensi ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional Covenant on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik);
  11. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (dua belas) Tahun;
  12. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana;
  13. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban;
  14. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
  15. Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor 01/PB/MA/III/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014 Nomor Per-005/A/JA/03/2014 Nomor 1 Tahun 2014, Nomor Perber/ 01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi.
  16. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
  17. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.
  18. Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor 01/PB/MA/III/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014 Nomor Per- 005/A/JA/ 03/2014 Nomor 1 Tahun 2014, Nomor Perber/01/III/ 2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi;
  19. Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
  20. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial;
  21. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
  22. Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan  Anak Republik Indonesia Nomor 166A/KMA/SKB/XII/2009, 148 A/A/JA/ 12/2009, B/45/XII/2009, M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009, 10/PRS-s/KPTS/2009, 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tentang Penanganan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum.
  23. Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor KEP-06/E/KJP/ 10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).

Rupanya begitu banyak dasar hukum restorative justice ini. Pengaturan di atas mungkin belum semuanya saya cantumkan.

Setelah mengetahui dasar hukum keadilan restoratif, sekarang kita beralih apa itu restorative justice?

Apa itu Restorative Justice?

Restorative Justice adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga korban/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Apa Tujuan Keadilan Restoratif?

Pelaksanaan keadilan restoratif (restorative justice) sejatinya bertujuan untuk mereformasi criminal justice system yang masih mengedepankan hukuman penjara. Hukuman penjara merupakan salah satu jenis pidana yang berlaku di Indonesia.

Perkembangan sistem pemidanaan, bukan lagi bertumpu pada pelaku melainkan telah mengarah pada penyelarasan kepentingan pemulihan korban dan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana.

Restorative Justice di Luar Pengadilan

Beberapa informasi yang kita bisa dapatkan terkait dengan Kejaksaan melakukan upaya keadilan restoratif di luar pengadilan .

Penyelesaian perkara di luar pengadilan sendiri dapat dilakukan dengan ketentuan[1]:

  1. untuk tindak pidana tertentu, maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
  2. telah ada pemulihan kembali keadaan semula dengan menggunakan pendekatan Keadilan Restoratif.

Menurut Jaksa Agung sebagaimana dikutip Media Indonesia , sampai dengan 18 Oktober 2021 tercatat sebanyak 313 perkara berhasil diselesaikan dengan Restorative Justice.

Apa syarat restorative justice di luar pengadilan? Mengutip Kejaksaan Negeri Batam , beberapa syarat Restorative Justice dilakukan, antara lain:

  1. Tindak Pidana yang baru pertama kali dilakukan;
  2. Kerugian di bawah Rp 2,5 juta;
  3. Adanya kesepakatan antara pelaku dan korban.

Salah satu contoh penggunaan keadilan restoratif dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Bali . Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini dilakukan atas perkara  tindak pidana pencurian dalam keluarga .

Keadilan Restoratif untuk Tindak Pidana Ringan

Perlu dipahami bersama bahwa, tidak semua tindak pidana dapat dilakukan keadilan restoratif. Hanya perkara-perkara tertentu saja yang dapat dijangkau restorative justice ini. Misalnya tindak pidana ringan sebagaimana disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dasar hukum untuk tindak pidana ringan merujuk pada ketentuan Pasal 205 KUHAP, yang pada pokoknya berbunyi:

Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan …”

Tindak pidana ringan dimaksud dengan nilai kerugian tidak lebih dari Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah)[2].

Adapun tindak pidana ringan dimaksud antara lain:

1. Pasal 364 KUHP

Salah satu tindak pidana ringan terdapat dalam ketentuan Pasal 364 KUHP. Perkara tindak pidana ringan dalam ketentuan Pasal 364 KUHP yang berbunyi:

“… apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah (baca dua juta lima ratus ribu rupiah), diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.

2. Pasal 373 KUHP

Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 372 apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.

3. Pasal 379 KUHP

Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 378, jika barang yang diserahkan itu bukan ternak dan harga daripada barang, utang atau piutang itu tidak lebih dari dua puluh lima rupiah diancam sebagai penipuan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.

4. Pasal 384 KUHP

Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 383, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah, jika jumlah keuntungan yang diperoleh tidak lebih dari dua puluh lima rupiah.

5. Pasal 482 KUHP

Perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 480, diancam karena penadahan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah, jika kejahatan dari mana benda tersebut diperoleh adalah salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 364, 373, dan 379.

Restoratif Justice dalam Perkara Anak yang Berhadapan dengan Hukum

Perlu dipahami bahwa dalam sistem peradilan anak, lebih diutamakan pendekatan keadilan restoratif. Hal ini dapat disebut sebagai diversi. Diversi dilakukan mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, hingga persidangan .

Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana

Keadilan Restoratif dalam Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum

Bukan hanya tindak pidana ringan saja yang dapat menerapkan keadilan restoratif. Namun juga bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum.

Penerapan keadilan restoratif dalam perkara perempuan disebabkan karena adanya ketidaksetaraan status sosial; ketidakberdayaan fisik dan psikis; relasi kuasa; dan riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban/saksi.

Keadilan Restoratif dalam Perkara Narkotika

Demikian juga keadilan restoratif yang dilakukan dalam perkara narkotika . Tidak semua perkara narkotika menerapkan restorative justice. Hanya dapat diterapkan terhadap pecandu, penyalahguna, korban penyalahgunaan, ketergantungan narkotika dan narkotika pemakaian satu hari.

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor 01/PB/MA/III/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014 Nomor Per- 005/A/JA/ 03/2014 Nomor 1 Tahun 2014, Nomor Perber/01/III/ 2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi.

Meskipun demikian, terdapat syarat penerapan keadilan restoratif dalam perkara narkotika. Apa syaratnya?

Salah satu syaratnya adalah, pada saat tertangkap tangan oleh pihak berwajib, ditemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari. Misalnya shabu seberat 1 gram, ganja dengan berat 5 gram.  

Penutup

Dengan adanya restorative justice saat ini, tentu saja penyelesaiannya bukan dalam bentuk pembalasan atau berakhir di penjara.

Keadilan restoratif sendiri adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, Korban, keluarga pelaku/Korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Keadilan restoratif lebih menitikberatkan pada pemulihan terhadap korban tindak pidana, sehingga terdapat keadilan antara kepentingan dan perlindungan baik bagi korban maupun pelaku tindak pidana.

Demikian. Semoga bermanfaat.


[1] Lihat Ketentuan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

[2] Lihat lebih lengkap dalam Lampiran Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor: 169 I/DJU/SK/PS.00/12/2020, tanggal 22 Desember 2020, tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di lingkungan Peradilan Umum,(https://badilum.mahkamahagung.go.id/index.php?option=com_attachments&task=download&id=811)

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

Exit mobile version