Last Updated: 06 Mar 2022, 10:08 am
Banyak yang bertanya-tanya, khususnya mahasiswa atau mereka yang baru lulus dari Fakultas Hukum: bolehkah paralegal beracara di pengadilan? Istilah paralegal ↗ ini memang sejak dahulu ada. Peranannya sangat penting dalam pembangunan hukum di Indonesia.
Ketika suatu daerah tak “tersentuh” Advokat, terkadang memang, paralegal berada di sana. Membantu upaya-upaya hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu secara ekonomi.
Melalui artikel kali ini, saya mencoba membahas bolehkah paralegal beracara di pengadilan atau tidak. Artikel ini ditulis, selain berdasarkan beberapa referensi, juga berdasarkan pengalaman pribadi—sebelum dilantik dan disumpah sebagai Advokat ↗.
Daftar Isi
Gambaran Umum tentang Paralegal
Sebelum membahas lebih jauh bolehkah paralegal beracara di pengadilan, saya ingin menyampaikan gambaran umum tentang paralegal.
Paralegal adalah setiap orang yang berasal dari komunitas, masyarakat, atau Pemberi Bantuan Hukum yang telah mengikuti pelatihan Paralegal, tidak berprofesi sebagai advokat, dan tidak secara mandiri mendampingi Penerima Bantuan Hukum di pengadilan.[1]
Peran Paralegal
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa peran paralegal sangat dibutuhkan. Sebab, pemberian bantuan hukum saat ini belum menjangkau seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pelaksana bantuan hukum.
Jangankan di perdesaan, di perkotaan saja kadang para pencari keadilan kesulitan mendapatkan bantuan hukum. Hal ini disebabkan oleh masih minimnya Advokat. Di samping itu, persebaran organisasi bantuan hukum belum merata di seluruh Indonesia.
Di Jakarta saja, hanya terdapat 41 organisasi bantuan hukum ↗ yang terakreditasi dan verifikasi oleh Menkumham RI. Sementara menurut BPS ↗, penduduk Jakarta mencapai 10 562 088 pada 2020.
Dari jumlah penduduk ↗ DKI Jakarta tersebut, sebanyak 498.290 orang pada September 2021 adalah penduduk miskin. Jika diasumsikan setengah dari penduduk miskin di atas mendapat permasalahan hukum, maka didapatkan hasil 249.145 jiwa. Kemudian, kita rata-ratakan OBH di atas memberikan bantuan hukum yaitu kurang lebih 6.000 jiwa per OBH. Hal ini tidak sebanding, bukan?
Belum lagi, di tiap-tiap organisasi bantuan hukum di Jakarta jumlah Advokat tidak memadai. Maka sudah barang tentu peran paralegal sangat dibutuhkan dalam kasus ini. Sehingga mau tidak mau, paralegal yang berperan membantu pendampingan baik di luar maupun di dalam pengadilan.
Dengan alasan itulah terbit Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pararegal untuk Memberi Bantuan Hukum (Permenkumham No. 1/2018). Permenkumham ini telah menjawab pertanyaan bolehkah paralegal beracara di pengadilan.
Namun sayangnya, beberapa saat kemudian Permenkumham No. 1/2018 diajukan judicial review ↗.
Polemik tentang Paralegal
Bolehkah paralegal beracara di pengadilan sebenarnya telah terjawab di atas melalui Permenkumham. Namun terjadi polemik pada 2018 hingga 2019. Permenkumham ini menjadi polemik karena mengatur paralegal dapat memberikan bantuan hukum litigasi sebagaimana terdapat Pasal 11 yang menyebutkan:
“Paralegal dapat memberikan Bantuan Hukum secara litigasi dan nonlitigasi setelah terdaftar pada Pemberi Bantuan Hukum dan mendapatkan sertifikat pelatihan Paralegal tingkat dasar.”
Secara lengkap, bantuan hukum litigasi oleh paralegal diatur melalui Pasal 12 yang menentukan:
- Pemberian Bantuan Hukum secara litigasi oleh Paralegal dilakukan dalam bentuk pendampingan advokat pada lingkup Pemberi Bantuan Hukum yang sama.
- Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
- pendampingan dan/atau menjalankan kuasa yang dimulai dari tingkat penyidikan, dan penuntutan;
- pendampingan dan/atau menjalankan kuasa dalam proses pemeriksaan di persidangan; atau
- pendampingan dan/atau menjalankan kuasa terhadap Penerima Bantuan Hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara.
- Pendampingan advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan surat keterangan pendampingan dari advokat yang memberikan Bantuan Hukum.
Sejumlah Advokat sangat keberatan dengan adanya Permenkumham Nomor 1 Tahun 2018 ini, khususnya menyangkut Pasal 11 dan Pasal 12. Kemudian mengajukan Hak Uji Materi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung melalui putusannya Nomor 22 P/HUM/2018, tanggal 31 Mei 2018 memberikan pertimbangan hukum antara lain:
“… Ketentuan normatif mengenai siapa yang dapat beracara dalam proses pemeriksaan persidangan di pengadilan telah diatur di dalam Pasal 4 juncto Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang pada pokoknya hanya advokat yang telah bersumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi yang dapat menjalankan profesi advokat untuk dapat beracara dalam proses pemeriksaan persidangan di pengadilan”.
“Bahwa dengan demikian muatan materi Pasal 11 dan Pasal 12 objek HUM bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sehingga dengan demikian melanggar asas lex superior derogate legi inferior, sehingga bertentangan dengan Pasal 5, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan“.
Mahkamah Agung mengabulkan sebagian permohonan tersebut dengan amar:
“Menyatakan Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2018 tentang Paralegal Dalam Pemberian Bantuan Hukum bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan karenanya tidak berlaku umum.”[2]
“Memerintahkan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk mencabut Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2018 tentang Paralegal Dalam Pemberian Bantuan Hukum“.[3]
Sikap Menkumham terhadap Putusan Mahkamah Agung
Dari uraian di atas, belum terdapat jawaban atas pertanyaan bolehkah paralegal beracara di pengadilan. Dan kini, pasca putusan Mahkamah Agung di atas, Menkumham menerbitkan peraturan baru yaitu Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2021 tentang Paralegal Dalam Memberikan Bantuan Hukum.
Permenkuman ini tidak lagi mengatur tentang paralegal yang dapat memberikan bantuan hukum litigasi.
Dalam Permenkumham Nomor 3 Tahun 2021 ini, tidak terdapat lagi frasa “paralegal dapat memberikan bantuan hukum secara litigasi”.
Artinya, dasar hukum yang diatur dalam produk perundang-undangan mengenai paralegal bisa beracara di pengadilan telah dihilangkan.
Bolehkah Paralegal Beracara di Pengadilan?
Sekarang, kita beralih ke pertanyaan kunci: bolehkah paralegal beracara di pengadilan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita simak beberapa referensi di bawah ini:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-II-2004
Jawaban atas pertanyaan bolehkah paralegal beracara di pengadilan dapat dilihat dalam putusan MK Nomor 006/PUU-II/2004, yang menyatakan bahwa:
“… sebagai Undang-Undang yang mengatur profesi, seharusnya UU Nomor 18 Tahun 2003 tidak boleh dimaksudkan sebagai sarana legalisasi dan legitimasi bahwa yang boleh tampil di depan pengadilan hanya advokat. Karena hal demikian harus diatur dalam hukum acara. Padahal hukum acara yang berlaku saat ini tidak atau belum mewajibkan pihak-pihak yang berperkara untuk tampil dengan menggunakan pengacara (verplichte procureurstelling) …”
“… Oleh karena tidak atau belum adanya kewajiban demikian menurut hukum acara, maka pihak lain di luar advokat tidak boleh dilarang untuk tampil mewakili pihak yang berperkara di depan pengadilan. Hal ini juga sesuai dengan kondisi riil masyarakat saat ini di mana jumlah advokat sangat tidak sebanding, dan tidak merata, dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang memerlukan jasa hukum.”
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 88/PUU-X/2012
Di samping itu, terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 88/PUU-X/2012 ↗, yang dapat menjawab bolehkah paralegal beracara di pengadilan. Putusan ini terkait dengan pengujian materi terhadap Undang-Undang Bantuan Hukum. Dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi berpendapat:
“…UU Bantuan Hukum justru menjelaskan dan memperluas para pihak yang dapat memberikan bantuan hukum. Tidak hanya advokat saja yang dapat memberikan bantuan hukum, tetapi juga paralegal …, dosen dan mahasiswa fakultas hukum, termasuk mahasiswa dari fakultas syariah, perguruan tinggi militer, dan perguruan tinggi kepolisian, yang direkrut sebagai pemberi bantuan hukum (vide Pasal 9 huruf a UU Bantuan Hukum dan Penjelasannya)[4]
Demikian juga ternyata, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-II/2004, tanggal 13 Desember 2004, halaman 290, berpendapat:
“… bahwa paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum memiliki hak yang sama dengan advokat untuk memberi bantuan hukum kepada warga negara miskin dan tidak mampu”.
3. Kata Mahkamah Konstitusi
Mengutip laman Mahkamah Konstitusi ↗ menyebutkan bahwa: Sejak adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, paralegal tetap bisa beracara di pengadilan untuk memberikan bantuan hukum terhadap warga yang tidak mampu dan miskin. Jadi, dosen ataupun mahasiswa fakultas hukum yang tergabung dalam sebuah lembaga bantuan hukum (LBH) yang telah terakreditasi, tentu dapat memberikan bantuannya pada masyarakat yang membutuhkan ….”.
Sehingga atas pertanyaan bolehkah paralegal beracara di pengadilan telah terjawab. Asalkan bersifat pengabdian, sosial, dan sukarela.
Pengalaman Sebagai Paralegal Beracara di Pengadilan
Di samping beberapa perdebatan di atas, saya juga ingin bercerita bagaimana dahulu menjadi paralegal. Sehingga kiranya dapat membantu menjawab bolehkah paralegal beracara di pengadilan. Sewaktu menjadi paralegal, belum ada ketentuan khusus yang mengatur tentang paralegal seperti Permenkuham Nomor 1 Tahun 2018 di atas.
Bolehkah paralegal beracara di pengadilan ini terkait dengan pendampingan dalam perkara pidana. Yang memang mau tidak mau harus didampingi. Itu pun tidak boleh bersifat profit. Dan saya tergabung dengan salah satu organisasi bantuan hukum yang telah terakreditasi dan terverifikasi oleh Menkumham. Sehingga, leluasa memberikan bantuan hukum ↗.
Berbeda halnya apabila Anda menjadi kuasa hukum dalam perkara profit. Hal ini tentu saja tidak dibenarkan, karena esensi paralegal menurut saya adalah membantu Advokat yang tergabung dalam organisasi bantuan hukum. Di samping itu, khusus mendampingi para pencari keadilan yang tidak mampu secara ekonomi.
Saya pernah mengalami hal ini, karena jumlah Advokat saat itu sangat minim. Sehingga penanganan kasus terhadap penerima bantuan hukum nyaris tak tertangani. Pada saat-saat seperti itulah paralegal sangat dibutuhkan.
Sepanjang tergabung dalam organisasi bantuan hukum yang terakreditasi dan terakreditasi serta memahami secara mendalam hukum acara, maka menurut saya paralegal bisa beracara di pengadilan.
Bagaimana dengan perkara seperti perdata atau tata usaha negara? Beberapa kali saya dan beberapa rekan yang tergabung dalam OBH menangani perkara perdata dan tata usaha negara.
Berdasar pengalaman di atas, saya berani mengatakan bahwa bolehkah paralegal beracara, jawabannya dapat beracara di pengadilan. Khususnya perkara pidana, dengan catatan:
- Tergabung dalam organisasi bantuan hukum yang terverifikasi dan terakreditasi Menkumham;
- Memberikan bantuan hukum hanya khusus masyarakat yang tidak mampu (miskin);
- Minimnya Advokat yang tergabung dalam OBH bersangkutan;
- Tidak dapat menjadi kuasa hukum perkara profit;
- Didampingi Advokat;
Penutup
Penekanan penting bolehkah paralegal beracara di pengadilan adalah memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang miskin atau tidak mampu. Itulah esensi adanya paralegal di setiap organisasi bantuan hukum.
Artinya, peran paralegal bukan saja pada tataran non-litigasi, tetapi juga bisa menangani litigasi. Sepanjang paralegal tersebut memenuhi persyaratan oleh OBH, maka tidak ada alasan apa pun yang mengatakan paralegal tidak berhak mendampingi masyarakat miskin di depan persidangan.
Meskipun tidak terdapat dasar hukum yang memadai mengenai bolehkah paralegal beracara di pengadilan. Atau dasar hukum tersebut telah dicabut, akan tetapi, terdapat putusan Mahkamah Konstitusi—sepanjang memberikan bantuan hukum ↗ kepada masyarakat tidak mampu atau miskin.
Sehingga, meminjam pendapat Mahkamah Konstitusi dalam putusan di atas, paralegal ikut mewujudkan keadilan sosial, dan membuka ruang-ruang access to justice untuk masyarakat marjinal.
Demikian. Semoga bermanfaat.
[1] Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2021 tentang Paralegal Dalam Pemberian Bantuan Hukum.
[2] Lihat Amar Putusan Nomor 22 P/HUM/2018, tanggal 31 Mei 2018 angka 2.
[3] Lihat Amar Putusan Nomor 22 P/HUM/2018, tanggal 31 Mei 2018 angka 3.
[4] Lihat Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 1600/88/PUU-X/2012, poin 3.11.7., hlm., 152-153.