Last Updated: 20 Mar 2022, 09:07 pm
Jika tak berhati-hati menghadapi se-gerombolan tikus yang memotong langkahku, bisa saja, kepala terseruduk lebih dulu ke dalam got amis itu. Untung saja, dengan sigap menari-narikan kaki seperti bermain kajenje. Ketika telapak kaki sebentar lagi akan menyentuh tanah, kucing datang menyeruduk tikus lewat tepat di bawah telapak kakiku. Ya, ampun. Lagi-lagi hampir menginjak binatang kesayangan Mangge Robuka itu.
Sore ini, aku baru saja pulang dari rumah seorang sahabat sekelas. Ia anak orang kaya, dan selalu malas mengerjakan tugas, serta sama sepertiku: malas mandi. Rumahnya mewah, dan isi-isi di dalam begitu mengagumkan. Pernak-pernik mahal, dari Eropa, sampai Timur Tengah—tampak terpampang di dinding-dinding setengah berkeramik itu. Jam tangan saja, katanya, dari Amerika Latin: Argentina. Tak tahu, apa motivasi membeli produk-produk luar negeri. Tetapi, yang pasti, aku merasa minder menginjakkan kaki, bahkan lewat di depan rumahnya pun malu. Hanya saja, Sukarni, meminta pertolonganku, membantunya mengerjakan tugas—sebagai salah satu syarat penilaian.
Aku diajak masuk ke kamarnya, luas, dan berwarna-warni isi-isi di dalam. Sedikit tertegun, tetapi seketika memikirkan sang kakek dan seorang anak kecil yang kutemui beberapa hari lalu—tak kuasa menahan rasa lapar. Lantas, dalam hatiku bertanya: bisakah jam tangan itu dijual, lalu uangnya diberikan kepada sang kakek? Ah, pikiran ini memang luar biasa tak terduga. Sesekali terbengong, tetapi dalam waktu yang singkat, Sukarni menarik tangan hendak duduk di atas kursi sofa berbulu-bulu halus itu.
***
Di tengah perjalanan yang berdebu, pun berangsur-angsur suhu panas udara menurun, tiba-tiba perasaan berubah—seperti ada seonggok peristiwa di masa kelam yang mengobrak-abrik. Seperti tak percaya memang, tetapi ketika mengingat hal itu, hati tampak tertusuk-tusuk duri kaktus yang tajam. Entah apa! Ya, mungkin tentang kemiskinan.
Kini, aku telah tiba di persimpangan jalan menuju Kos Sundulut. Terlihat begitu jelas, seorang perempuan sebayaku menari-nari tak jelas; seorang lagi, tepat di samping kananya—memakai handuk di kepala dan odol di mulut masih memutih pun berbusa; ada suara-suara musik yang berdenting menggetarkan lututku. Ah, kurasa, anak-anak itu—penyuka musik sedari dalam kandungan.
Sedari tadi memang mereka menungguku—sebab merasa khawatir terhadap kabar yang sama sekali tak ada. Aku menjurus ke dalam kamar yang kecil ini, dengan harapan bahwa, mereka tak menyusul dan menanyaiku. Tetapi kemudian, Ponika menabrak pintu kamar, dan masuk tanpa mengucapkan salam. Hanya saja, ia mengambil seutas tali dan di ujungnya terdapat kaleng susu yang kosong. Ia keluar, dan menutup pintu.
Mereka pasti sedang menungguku di luar untuk sekedar bermain-main di taman gersang itu. Tetapi bisa kupastikan bahwa, dalam waktu ringkas, tak akan keluar kamar.
Di bagian atas lemari pakaianku, terdapat sebuah boneka yang lucu. Di dadanya, tertulis I Love You. Boneka itu adalah satu-satunya hadiah dari ibuku, selama berkali-kali ulang tahun—dan ia menyerahkan pada ulang tahun ke sembilan.
Aku tak tahu, kenapa ibu memberikan hadiah boneka, yang sebenarnya bukan sebagai tradisi—serahan-serahan hadiah ulang tahun, di kampung nan jauh itu. Tetapi, kata ibu, setiap kali tidur, ia terus mendengarkan semacam mengigau dari mulutku: boneka … boneka … boneka yang lucu. Sekiranya hal itu, yang membuat, bagaimana pemilik nama Mustia, berkorban untuk berjalan berhari-hari mencari boneka yang ku dengung-dengungkan. Pengorbanan yang luar biasa—hingga pada akhirnya, tak ingin lepas memeluk erat boneka ini. Sebisa mungkin tak lepas, meski ia benda mati. boneka itu erat-erat. Erat sampai tak ingin lepas. Sebisa mungkin tak lepas. Air mataku kembali menetes, dan membasahi sisa-sisa kertas yang disobek-sobek.
Sedang, di luar kamar lagi ribut-ribut, sebab Ponika baru saja terjatuh dari teras, dan yang menyemangati, layaknya memeriahkan seorang bayi lagi belajar berjalan. Tentu Ponika sedikit kesal, karena lututnya agak membiru, dan hanya menjadi bahan candaan. Namun di sini, di kamar yang penghuni hanya seorang, jantung tiba-tiba berdetak kencang, seperti ada ketakutan yang luar biasa. Kerinduan ini, tentu tak bisa disepelekan walau hanya sejenak, karena memang berpengaruh. Selanjutnya, aku membuka pintu.
Di balik canda-tawa yang meledak-ledak itu, Ponika memegang hidung. Kutahu, penyakitnya datang lagi: mimisan. Setiap kali terjatuh, dan lututnya mengenai benda apa pun, dan begitu kencang, maka darah mengalir dari lubang hidung yang tampak mancung dan besar. Tentu tak tahu kenapa demikian, tetapi anak ini tak mau pergi ke dokter untuk memeriksa. Katanya, hanya akan menghabiskan uang.
Mangge Robuka menjadi panik setelah ia keluar dari markas besarnya, yang sedari tadi memperbaiki sound tua—berantakan. Tampak di wajah yang menua itu tergambar kekhawatiran—setelah matanya berhasil mencercap aliran darah ke celah-celah jemari Ponika. Ia berteriak sejadi-jadinya—betul-betul panik.
“Oh, Tuhan, ada apa ini?” ia bertanya, yang tentunya siapa pun berhak menjawab. Tetapi, jawaban tak kunjung ada.
Ia mengambil sehelai kain kotor berwarna biru, yang dilumuri oli-oli bekas. Lantas dengan sigap menyumbat lubang hidung Ponika, agar darah berhenti keluar. Tetapi tiba-tiba dikagetkan dengan air yang muncrat ke tangannya. Widya menyiram kepala Ponika dengan se-gayun air. Mangge Robuka terdiam.
Sebenarnya Mangge Robuka tahu cara menyembuhkan sesaat, ia hanya kaget melihat darah yang keluar itu—mengalir seperti anak-anak air di pegunungan Sojol. Ia juga tahu bahwa, penyakit ini adalah penyakit turunan, sebab Ponika telah bercerita panjang lebar, di suatu malam pekat tanpa bintang, namun tak menghujan. Seterusnya, ia membungkam, karena Widya telah melakukan hal yang benar. Ponika sedikit menjerit, tetapi ia tak panik.
Perempuan tomboi itu berbaring sejenak, di atas meja di mana mereka sering berkumpul.
“Silakan tertawa!” Ponika tampak sedikit kesal, tetapi ia tidak dendam.
“Maaf, Pon. Maaf …!” seru seorang dari belakang. Dari raut wajahnya, tampak ada kelucuan, dan ia masih menahan gelagat tawa—jangan sampai meledak. Yang diingatnya adalah, proses bagaimana Ponika terjatuh tadi, bukan pada hidung berdarah itu. Ia mengingat bahwa, tarian-tarian yang tampak seperti seekor Pinguin bergoyang, melesat-lesat lalu berputar. Tetapi Ponika lupa, sejengkal lagi, kakinya akan terjatuh, sebab telah sampai di tepian lantai setinggi tiga puluh centimeter dari permukaan tanah.
***
Aku kembali ke kamar dengan perasaan hati yang sedikit galau—memikirkan apakah di sana, ibuku, baik-baik saja? Sungguh. Saat ini aku merindukannya. Sedari rumah Sukarni, wajah ibu terus membayang di depanku yang sedikit berkotak. Pada titik ini, aku kembali memeluk boneka I Love You, begitu erat.
Biasanya, aku membuka lembaran-lembaran buku pelajaran, dan memerhatikan dengan saksama huruf-huruf pada buku-buku itu. Tetapi kian larut, mataku hanya meliuk-liuk memandangi dinding-dinding kamar. Aku ingin berlabu secepatnya, tetapi, kesediaan rindu lebih banyak dari harapan untuk senyap. Dan, surat itu, memaksaku mencakar-cakar tanah.
Kuceritakan padamu: Boneka I Love You ini, pernah hilang dari kamarku. Entah beberapa jam, baru disadari, ternyata ia sudah tak lagi duduk manis di atas lemari pakaian itu. Beruntung hari itu, adalah hari di mana sekolah libur sehari—dan tentunya, sibuk mencari. Ya, seharian. Full. Air mata terus mengalir; tersedu-sedu; dan sesekali berteriak. Tetapi, ya, mereka itu, bukan membantu—hanya menjulurkan lidah di luar sana. kesal, tentunya.
Kubongkar lipatan-lipatan pakaian, yang mustahil boneka I Love You berada di sana. tetapi, memang kepanikan meruntuhkan seluruh logika. Bahkan di bawah kasur sasar mata menyelip—namun sayang: tak ada. inilah akibatnya, menyayangi satu benda pemberian dari yang tersayang. Bukankah kau pun demikian? Ketika jam tangan berdenting sembilan kali, aku baru ingat, ternyata ada tugas yang harus dikumpul esok pagi. Tetapi, kesibukan telah melawan mengerjakannya. Sumpah. Malam itu, mungkin menjadi malam yang teramat tak kuingini.
Wajah itu begitu merasa tak berdosa. Dengan senyum yang semringah, di depan pintu ia berdiri tegak, pun tampak seksi. Kedua jemari tangannya saling mengikat memeluk sebuah boneka yang lucu. Astaga, itulah benda yang kucari-cari, hingga hampir seember air mata bercucuran. Ponika. Ia mengerjaiku.
“Selamat ulang tahun,” katanya masih terus semringah. Aku terkejut. Ingin memarahinya, tetapi tak kuasa. Ia berlari kecil-kecil dan memelukku. Erat. Sedang Boneka I Love You itu, ia lembar di atas kasur beralas kain cokelat. Kami berpelukan dengan sendu mengelilingi kamar. Ya, ampun, inikah namanya seorang sahabat, yang walaupun mengerjaiku, tetapi ingat hari lahirku?
Ah, aku melepaskannya. Tak pedulikan semuanya. Mulutku ingin memaki. Mengatakan pada Ponika, bahwa ia jahat dan keterlaluan. Tetapi, bisikan kebaikan datang, bahwa kata-kata itu bukanlah hal yang baik untuk didengarkan apalagi kepada seorang sahabat sedari dulu.
Ia tak melepaskanku. Mungkin sampai pagi. Entah. Yang kurasakan semacam ada getaran di seluruh tubuhku. Juga di seluruh tubuhnya. Tubuh kami berdua sama-sama bergetar. Serasa ada yang mengguncang begitu keras. Tiba-tiba kami saling melepas. Ia terkejut, ketika melihat bola mataku yang memerah. Ia meraih tanganku, lalu mengatakan dengan sangat pelan dan halus, “Maafkan aku …”
Setelahnya, ia pergi. Keluar dan menutup pintu.
Aku bergembira, sebab Boneka I Love You ini kembali kali di pelukanku. Aku menganggap, bahwa boneka ini adalah sosok ibuku. Pun surat itu—di atas bantal yang lusuh. Kini, bersamanya, telah tertidur pulas.
***
Biasanya, Ponika lebih dulu bangun dibanding sahabat-sahabat lain. Tetapi, seperti biasa, setelah mimisan ia akan terus terlelap, hingga matahari bersinar—entah iblis dari mana membujuknya untuk terus tidur.
“Assalamualaikum … Assalamualaikum … Pon … Ponika, bangun, Pon! Sudah siang. Nanti terlambat ke sekolah.” Tak ada jawaban apa pun. Suara gemericik dari luar angkasa mengumandang.
“Biarkan saja dia, Nit! Mungkin kelelahan.” Kata salah seorang.
“Aiihh … iblis sedang merayunya. Jika dibiarkan, berarti iblis yang berada di kita, juga sedang merayu, dong ….”
“Kalau memang betul ia kelelahan, bagaimana?”
Bukan persoalan muda menghadapi iblis. Bahkan yang baik sekalipun. Ia akan menipu-muslihat manusia yang baik sekalipun juga. Kalau sudah seperti itu, apa yang mesti dilakukan selanjutnya?
Ketika suara-suara teriakan anak-anak belasan tahun ini, terus menggelora, Mangge Robuka keluar kamar—ia menghampiri kami, dengan sarung yang kuduga, sarung itu dipakai sembahyang, tetapi belum dibuka. Akhirnya Mangge Robuka berhasil membukakan mata Ponika.
Awan menggantung sepi. Ia akan bergerak-gerak, mencari kelompok-kelompok lain hingga membentuk gumpalan. Meski matahari belum juga terlalu bersinar, tetapi hawa panas telah terasa menggigit tulang. Sesekali di antara kami berempat, yang sedang menunggu Ponika, meregangkan tubuh. Tak bisa bergerak lebih, karena pasti keringat akan bercucuran membasahi kemeja putih.
Arah tengokku ke jalanan samping Kos Sundulut. Di sana, sepasang lelaki dan perempuan berjalan sambil bergandengan tangan. Romantis. Keduanya sudah tua, yang ditandai oleh rambut-rambut memutih. Mereka akan meregangkan otot-otot tubuh di pagi yang cerah nan panas ini.
Ketika keluar kos, maka akan melihat perempatan menuju ke blok B di kompleks itu. Namun, seorang lelaki memaki topi sedang memikul karung putih yang setengahnya berisi, entah apa. Ia berlawanan arah dengan kedua pasangan tadi. Pun kami. Sekarang, lihatlah! Lelaki itu akan memungut sampah di tong-tong kuning itu. Mengais-ngais sesuatu yang busuk—dan yakin akan berubah menjadi uang. Di depannya, tak terlalu jauh, seekor anjing ikut mengais—mencari makanan sisa orang kaya.
Sesaat, aku seolah tak peduli dengan tumpukan sampah itu. Sedangkan Widya, menggeleng-geleng, dan hendak melakukan sesuatu, entah apa. Aku merasa miris melihat lelaki yang sudah tua—yang seharusnya saat ini menikmati masa tua di rumahnya dan mempertebal ibadah. Kosakata baru tiba-tiba terlintas dalam benakku: Bukan main, kerja kerasnya kakek ini.
Aku tahu, baju yang dikenakannya dahulu berwarna putih cemerlang, tak bernoda. Tetapi kini telah lusuh dan kotor serta sobek-sobek. Mencokelat hampir menghitam.
Ah, anak sekecil aku—inikah sebabnya orang-orang mengagumiku? Pantaskah seusiaku, berpikir yang macam-macam seperti orang dewasa—tampak kelihatan tak masuk akal? Tetapi, kau harus tahu, bahwa ini berkat kerja keras didikan sang ibu—Mustia.
Nah, lihatlah, kembali aku memikirkan sesuatu yang berbentuk pertanyaan: Apa yang harus aku lakukan dengan kakek tua ini? Adakah anaknya? Adakah cucunya?
Menari-narilah pertanyaan yang tak terjawab ini. Menari hingga jauh ke ruang hampa sana. Melesit.
Pelan-pelan, bola api raksasa memancarkan cahayanya menyapu kota. Bising kendaraan mulai terdengar. Polusi mulai bertebaran.
Selanjutnya baca Bagian Kelima