Last Updated: 19 Mar 2022, 06:45 am
Meskipun jerat hukum atas kekerasan seksual terhadap anak semakin berat, tampaknya belum mampu sepenuhnya melindungi anak dari tindakan kekerasan seksual. Hal ini dibuktikan masih banyaknya kasus pelecehan yang berkembang dan belum tuntas.
Fenomena seperti dugaan pelecehan di daerah Luwu (Oktober 2021), menunjukkan bahwa kasusnya juga masih tetap ada. Apa yang menyebabkan seperti ini? Apakah undang–undangnya terlalu ringan hukumannya, sehingga tidak memberikan efek takut pada orang yang berniat melakukan pelecehan?
Atau ada faktor lain mengapa kasus ini selalu ada dan terus berkembang, bahkan penyelesaiannya terkadang kurang memuaskan. Banyak kasus yang awalnya dibawa ke ranah hukum akhirnya selesai dengan perdamaian, tanpa adanya pengenaan sanksi untuk membuat jera.
Melalui artikel ini, saya ingin membahas jerat hukum atas kekerasan seksual terhadap anak. Tulisan ini tentu saja bukan hanya membahas pengertian kekerasan seksual. Namun juga bentuk kekerasan seksual, pengaturan, hingga sanksi pidana ↗.
Sebelum membahas kekerasan seksual terhadap anak, sebaiknya mengetahui apa itu kekerasan seksual?
Daftar Isi
Apa itu Kekerasan Seksual?
Mengutip laman Wikipedia ↗, pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual.
Sementara dalam ketentuan Pasal 1 angka 15a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 menyebutkan:
“Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum“.
Baca Juga: Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) ↗
Bentuk-bentuk Kekerasan Seksual yang Harus Diketahui
Salah satu kesulitan menguak kasus dan memberikan jerat hukum atas kekerasan seksual terhadap anak adalah kurangnya pemahaman mengenai jenis-jenis yang termasuk ke dalam kategori pelecehan dan kekerasan. Karena ada yang sifatnya sangat halus, berikut jenis-jenisnya:
1. Pelecehan Gender
Perilaku ini lebih mengarah ke penyerangan karena perbedaan gender, bisa dengan kata-kata kasar, mengejek, menunjukkan kelemahan, atau memberikan lelucon cabul. Penyematan kata-kata kasar yang bersifat tuduhan berkaitan dengan aktivitas seksual juga termasuk di dalamnya.
Kondisi ini sering kali terjadi di sekeliling, bahkan terkadang secara tidak sadar terkadang dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Contoh sederhananya adalah melakukan catcalling atau panggilan-panggilan dengan ungkapan cabul, kadang hal ini dianggap hal wajar oleh komunitasnya.
2. Kegiatan Menggoda
Perilaku jenis ini biasanya terjadi ketika seseorang sudah mendapatkan penolakan, tetapi masih tetap ngotot atau menginginkannya. Paling umum ditemui adalah perilaku meminta kencan dibarengi dengan spam, meskipun sudah tahu bahwa sasarannya telah menolaknya.
3. Penyuapan dan Iming-iming
Bentuk pelecehan ini paling sering terjadi kepada anak-anak, mengingat mereka belum tahu apa yang dimaksud oleh pelaku. Biasanya iming-imingnya juga menarik bagi mereka, akhirnya nurut-nurut saja dan terjadilah pelecehan.
Kasusnya sendiri sulit terungkap karena pada akhirnya sang buah hati akan bungkam, entah karena faktor iming-imingnya atau ancaman agar tidak memberitahukan ke orang lain. Baru ketemu setelah ada keluhan pada organ vitalnya, seperti nyeri dan kurang nyaman.
4. Melakukan Pemaksaan untuk Melakukan Kegiatan Seksual
Selain menggunakan cara-cara halus seperti penyuapan, ternyata banyak juga orang menggunakan kekerasan dalam menyalurkan keinginannya. Kekerasannya juga sudah melukai fisik, untuk kasus ini lebih mudah terungkap karena bukti fisiknya jelas.
Pengaturan Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Di Indonesia, beberapa peraturan perundang-undangan ↗ yang mengatur tentang kekerasan seksual terhadap anak. Meski demikian, masih banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak. Beberapa ketentuan tersebut dapat dilihat di bawah ini.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Secara khusus, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur pencabulan terhadap anak. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 294 ayat (1).
“Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa ↗, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana ↗ penjara paling lama tujuh tahun.”
Di samping itu, ada pula ketentuan yang mengatur tentang persetubuhan dengan seorang wanita. Begitu juga dengan Pelaku yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak yang belum berumur 15 tahun.
“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan ↗, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun“[1].
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang ini telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 35 tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam ketentuan di atas, ada beberapa pasal terkait dengan jeratan hukum apabila melakukan kekerasan seksual terhadap anak. Salah satu di antaranya adalah ketentuan Pasal 76D sebagai berikut:[2]
“Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”
Ancaman sanksi pidana yang dihadapi pelaku telah diatur dalam ketentuan Pasal 81[3]. Ketentuan tersebut mengatur:
“Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)“.
Jerat Hukum atas Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Tidak ada yang sepakat dengan kegiatan keji ini, negara juga mengecam perbuatan dan kekerasan seksual. Salah satu bentuk upaya penanganan dan pemberantasan terhadap praktik tersebut adalah dengan memberikan hukuman berat bagi para pelakunya.
1. Sanksi Pidana
Pelaku kejahatan bisa dikenakan berbagai pasal, salah satunya adalah pasal 82 ayat (1) juncto pasal 76E Undang-Undang nomor 35 Tahun 2014. Berdasarkan undang-undang tersebut menunjukkan bahwa pelaku kejahatan bisa dikenakan sanksi kurungan dan denda.
Kurungan penjara dikenakan kepada pelaku paling sebentar 5 tahun dan paling lama 15 tahun. Sedangkan untuk dendanya sendiri paling banyak 5 miliar rupiah. Dengan hukuman yang seberat itu, diharapkan mampu memberikan efek jera dan ketakutan.
2. Sanksi Sosial
Selain jerat hukum atas kekerasan seksual terhadap anak, juga terdapat sanksi sosial yang berkembang di masyarakat. Bentuk sanksinya bermacam-macam, mulai dari mendapatkan cap negatif, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadapnya.
Tujuan diadakannya sanksi tersebut adalah memberikan efek malu pada pelaku, sehingga tidak akan mengulanginya lagi. Lamanya juga bergantung pada setiap masyarakat, biasanya sanksinya tidak mudah untuk dicabut, mengingat persepsi sudah buruk.
3. Perlindungan Terhadap Korban
Identitas anak juga harus dilindungi apabila mengalami kekerasan seksual, hal ini untuk menjaganya dari trauma-trauma pasca mendapatkan perlakukan buruk tersebut. Selain itu juga diberikan pendampingan untuk memulihkan kepercayaan dirinya kembali.
Kembali ke pergaulan setelah mengalami hal buruk bukanlah suatu hal yang mudah. Kepercayaan diri akan menurun drastis, bahkan menjadikannya takut untuk berinteraksi kembali. Seandainya orang mau merenungkan hal ini, tindak kejahatan seperti ini tidak akan terjadi lagi.
Penutup
Sebagai orang tua, atau setidak-tidaknya sebagai manusia, seharusnya tidak melakukan kekerasan seksual terhadap anak. Apalagi anak tersebut ada hubungan darah.
Kasus-kasus pelecehan tidak pernah selesai dan mungkin akan selalu ada, namun hukum juga selalu beradaptasi agar mampu melindungi setiap warga negaranya. Memberatkan jerat hukum atas kekerasan seksual terhadap anak bisa menjadi salah satu alternatifnya.
Demikian. Semoga bermanfaat.
Baca Juga: Perbedaan Pengakuan dan Pengesahan Anak ↗
[1] Lihat Pasal 287 KUHP.
[2] Undang-Undang nomor 35 Tahun 2014
[3] Perpu nomor 1 tahun 2016