Kompilasi Hukum Islam (KHI), telah jelas mengatur pembagian harta warisan ↗. Namun, bagaimana dengan pembagian waris berdasarkan hukum kebiasaan atau adat? Apakah posisi perempuan dan laki-laki dalam kewarisan adalah sama atau berbeda? Bagaimana posisi pengadilan dalam memaknai keadilan dan kesetaraan gender?
Melalui artikel ini, saya hendak membahas tentang posisi perempuan dan laki-laki dalam kewarisan yang ditinjau dari berbagai putusan pengadilan. Apakah kekuasaan kehakiman yaitu badan peradilan menerapkan keadilan dan kesetaraan gender dalam kewarisan?
Daftar Isi
Keadilan dan Kesetaraan Gender dalam Kewarisan
Maksud keadilan dan kesetaraan gender dalam artikel ini adalah tentang kewarisan yang ditinjau dari berbagai putusan pengadilan ↗. Untuk itu, simak hal-hal mendasar di bawah ini:
Apa itu Keadilan?
Sebagaimana menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit), dan kepastian hukum (rechtszekerhedi[1]. Mengenai poin pertama yaitu keadilan—sebenarnya apa itu keadilan?
Mengutip Wikipedia ↗, Keadilan adalah kondisi yang bersifat adil terhadap suatu sifat, perbuatan maupun perlakuan terhadap sesuatu hal.
Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI ↗) menyebutkan keadilan adalah sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) yang adil: dia hanya mempertahankan hak dan ~nya; Pemerintah menciptakan ~ bagi masyarakat.
Keadilan menurut Kamus Hukum[2] adalah perlindungan terhadap hak setiap manusia.
Apa itu Kesetaraan Gender?
Kesetaraan gender adalah kesamaan dan keseimbangan kondisi antara laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi di berbagai bidang[3].
Dalam Kamus Hukum[4] menyebutkan, kesetaraan gender adalah suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi keutuhan kelangsungan rumah tangga secara proporsional.
Keadilan dan Kesetaraan Gender dalam Berbagai Putusan Pengadilan
Ruang lingkup pembahasan keadilan dan kesetaraan gender ini adalah berbasis putusan pengadilan khususnya putusan Mahkamah Agung. Namun, sebelum membahas putusan dimaksud, terdapat pedoman pengadilan untuk mengadili perkara yang terkait dengan perempuan.
Pedoman tersebut adalah Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (Perma 3/2017).
Apa hubungannya dengan perkara kewarisan? Sebagaimana judul Perma, terdapat perempuan yang berhadapan dengan hukum. Karena banyak masyarakat kita menganggap, perempuan dan laki-laki adalah tidak sama dalam memperoleh hak waris.
Dalam mempertimbangkan keadilan dan kesetaraan gender, posisi perempuan dan laki-laki dalam kewarisan adalah sama. Hal ini tercermin dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung ↗, yaitu:
1. Putusan Nomor 179 K/SIP/1961
Keadilan dan kesetaraan gender pertama kali tercermin dalam Putusan Nomor 179 K/SIP/1961, tanggal 23 Oktober 1961. Putusan ini kemudian menjadi tolok ukur yang diikuti putusan lainnya dalam perkara yang sama. Dalam pertimbangan hukum sengketa kewarisan yang menggunakan adat, Mahkamah Agung berpendapat:
“Mahkamah Agung atas rasa peri kemanusiaan dan keadilan umum serta atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, jadi juga di Tanah Karo bahwa seorang anak perempuan harus dianggap sebagai ahli waris dan berhak menerima bagian dari harta warisan orang tuanya.
2. Putusan Nomor 415 K/SIP/1970
Keadilan dan kesetaraan gender juga tercermin dalam Putusan Nomor 415 K/SIP/1970, tanggal 16 Juni 1971. Perkara tersebut diajukan oleh Usman, dkk melawan Marah Iman Nasution, dkk.
Dalam sikapnya, Mahkamah Agung mengatakan secara ringkas bahwa:
“… maksud dari pada ‘pemberian dan penyerahan’ adalah untuk memperlunak hukum adat di masa sebelum perang dunia ke-II, di waktu seorang anak perempuan tidak punya hak waris. Dan Hukum Adat di daerah Tapanuli juga telah berkembang ke arah pemberian hak yang sama kepada anak perempuan dan laki-laki. Perkembangan mana sudah diperkuat pula dengan suatu yurisprudensi tetap mengenai hukum waris di daerah tersebut …;
3. Putusan Nomor 4766 K/Pdt/1998
Posisi perempuan dan laki-laki dalam kewarisan adalah sama juga terdapat pada Putusan Nomor 4766 K/Pdt/1998, tanggal 16 November 1999. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung bersikap sebagai berikut:
“… Perempuan di Bali berhak atas harta peninggalan dari pewaris walaupun sistem pewarisan di Bali sendiri menganut sistem pewarisan mayoritas laki-laki”.
4. Putusan Nomor 1048 K/Pdt/2012
Cerminan keadilan dan kesetaraan gender atau posisi perempuan dan laki-laki adalah sama terdapat dalam Putusan Nomor 1048K/Pdt/2012, tanggal 28 September 2012. Putusan ini berhubungan dengan pembagian waris menurut adat Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Dalam Putusannya, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut di atas, dapat dibenarkan, Judex Facti/Pengadilan Tinggi Kupang yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Rote Ndao salah dalam menerapkan hukum karena pertimbangan Pengadilan Tinggi Kupang tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku, yaitu Pasal 17 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 179 K/Sip/1961 tanggal 11 November 1961 yang mengatakan bahwa hak waris perempuan disamakan dengan laki-laki. Artinya, hukum adat yang tidak sesuai dengan perkembangan hukum dalam masyarakat, seperti hukum adat yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan kedudukan laki-laki, tidak dapat lagi dipertahankan”.
5. Putusan Nomor 147/Pdt/2017
Posisi perempuan dan laki-laki setara dalam memperoleh hak waris juga terdapat pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 147 K/Pdt/2017, tanggal 18 April 2017. Perkara waris menurut adat Tionghoa dinilai menghilangkan keadilan dan kesetaraan gender. Untuk itu, Mahkamah Agung dalam putusannya berpendapat:
“Bahwa dalam rangka kesetaraan gender, hak wanita dan pria adalah sama dalam hukum, maka adil dan patut harta benda si peninggal waris harus dibagi sama oleh ahli waris tanpa membedakan pria dan wanita terlebih lagi hukum adat Tionghoa yang tidak tertulis dan harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman…”
“… Bahwa adalah tidak adil memosisikan anak laki-laki tertua sebagai satu-satunya penerima warisan orang tuanya terhadap harta benda tetap, sementara anak perempuan hanya mendapat perhiasan”.
6. Putusan Nomor 2906 K/Pdt/2014
Dalam Putusan Nomor 2906 K/Pdt/2014, tanggal 12 Mei 2015, Mahkamah Agung memposisikan perempuan berhak mendapatkan harta waris. Secara ringkas tercermin dalam pertimbangan hukum sebagai berikut:
“… Judex Facti tidak salah menerapkan hukum, masing-masing ahli waris secara rata memperoleh 1/9 bagian dari seluruh boedel, selain itu Safe Deposit Box (SDB) harus dibuka untuk transparansi, jumlah boedel harus diketahui oleh seluruh ahli waris….”
7. Putusan Nomor 573 K/Pdt/2017
Sikap pengadilan terkait dengan keadilan dan kesetaraan gender dalam perkara waris juga terdapat dalam Putusan Nomor 573 K/Pdt/2017, tanggal 19 Juni 2017.
8. Putusan Nomor 1130 K/Pdt/2017
Hal yang serupa dalam pertimbangan Mahkamah Agung juga terdapat dalam Putusan Nomor 1130 K/Pdt/2017, tanggal 10 Juli2017 terkait pembagian waris dalam adat Manggarai Nusa Tenggara Timur.
Penutup
Keadilan dan keseteraan gender tampaknya telah terakomodir dalam sikap Mahkamah Agung. Lihat saja beberapa putusan di atas, yang memosisikan perempuan dan laki-laki adalah sama berhak mendapatkan harta waris.
Di samping beberapa putusan tersebut, untuk memperkuat posisi perempuan, Mahkamah Agung mengeluarkan Perma Nomor 3/2017. Sehingga dapat disimpulkan, meskipun hukum adat daerah setempat “menghilangkan” hak waris bagi perempuan, namun pengadilan menganggap hal demikian tidaklah adil.
Demikian. Semoga bermanfaat.
[1] Diyah Astuti dalam Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Studi Kajian Filosofis dan Sosiologis, Jakarta PT Gunung Agung Tbk, 2002., hlm. 85.
[2] M. Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya: 2009, hlm., 330-331.
[3] Lihat Ketentuan Pasal 1 angka 4 Perma Nomor 3 Tahun 2017.
[4] M. Marwan dan Jimmy P, Ibid., hlm., 356.