Last Updated: 09 Mar 2022, 04:55 pm
Kewenangan DPD sebelumnya begitu sumir. Misalnya, apakah DPD berwenang membentuk undang-undang? Karena selama ini, kita hanya mengenal kewenangan tersebut berada pada lembaga negara ↗ berupa DPR dan Pemerintah.
Pertanyaan di atas, akan kita ulas melalui artikel ini.
Daftar Isi
Kewenangan DPD dalam Pembentukan Undang-Undang
Dewan Perwakilan Daerah lahir lewat amandemen ke-3 UUD 1945. Pembentukannya dimaksudkan untuk memperjuangkan setidaknya empat hal. Pertama, kepentingan daerah dalam kebijakan nasioanl.
Kedua, aspirasi masyarakat daerah. Ketiga, mengikutsertakan daerah dalam setiap keputusan politik nasional. Keempat, sebagai penyeimbang dalam struktur parlemen.
Sebelum membahas kewenangan DPD, artikel ini terlebih dahulu mengurai apa itu DPD dan tujuannya.
Baca Juga: Kewenangan Judicial Review di Indonesia ↗
Apa itu DPD dan Apa Tujuannya?
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah sebuah lembaga perwakilan. Seperti halnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mewakili masyarakat pada wilayah tertentu.
DPD merupakan alternatif baru bagi “utusan daerah” di MPR, yang lebih merepresentasikan kepentingan daerah. Anggota DPD dipilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Siapa pun yang mendapatkan suara terbanyak pada daerah pemilihannya, maka dia akan mewakili daerah tersebut.
Pada sistem ini, masyarakat langsung memilih nama calon melalui Pemilu. Calon disyaratkan untuk independen. Artinya bukan sebagai pengurus Partai Politik.
Anggota DPD merupakan jembatan bagi aspirasi daerah dalam pembuatan kebijakan nasional, dalam rangka mekanisme check and balances.
Mengutip Wikipedia ↗, DPD merupakan bentuk perwujudan lembaga perwakilan daerah di Indonesia. Lembaga perwakilan daerah … secara internasional, telah ada sejak lama di Indonesia. Sebelum DPD dibentuk, telah terdapat lembaga Senat RIS, yang mewakili 16 negara bagian RIS.
Lembaga Tinggi Negara
Sebelum amandemen UUD Tahun 1945, Indonesia menganut pembagian kekuasaan. Sehingga perwujudan kekuasaan tersebut dibagi secara vertikal.
Ada yang disebut Lembaga Tertinggi Negara. Lembaga ini sebagai pemegang kekuasaan sepenuhnya dari kedaulatan rakyat. Lembaga Negara lainnya merupakan lembaga tinggi negara.
Secara keseluruhan, UUD 1945 sebelum perubahan mengenal enam lembaga tertinggi dan tinggi negara, yaitu:
Majelis Permusyawaratan rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara; Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden ↗, Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai lembaga tinggi negara.
Hal inilah yang kemudian setelah lebih kurang 40 tahun lamanya (dari tahun 1959 sejak Dekrit Presiden berlaku kembali UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia yang sebelumnya adalah UUD 1950 sampai tahun 1999 terjadi perubahan UUD 1945).
Akhirnya pada masa Reformasi terjadinya Amandemen I tahun 1999, Amandemen II tahun 2000, Amandemen III tahun 2001 dan Amandemen IV tahun 2002.[1]
Setelah Amandemen, telah terjadi perubahan kedudukan lembaga negara. Semuanya menjadi lembaga negara yang kedudukannya sama. Tidak lagi disebut sebagai lembaga tertinggi maupun lembaga tinggi negara.
Dalam perubahan tersebut, ada penambahan lembaga negara sebanyak 3 (tiga) lembaga negara yaitu DPD, MK, dan KY sehingga lembaga tersebut menjadi 8 (delapan) yaitu, MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), dan BPK.
Kewenangan DPD dalam Merancang Undang-Undang
Dibentuknya DPD melalui undang-undang, ternyata terdapat masalah. Terutama terkait dengan kewenangan untuk membentuk undang-undang.
Apakah memang DPD RI mempunyai kewenangan tersebut? Sejauh mana DPD RI mempunyai kewenangan pembentukan undang-undang?
Berdasarkan ketentuan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945, DPD memiliki kewenangan dalam hal prakarsa pembuatan Undang-Undang dan pembahasan Rancangan Undang-Undang.
Pasal di atas menyebutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang. Namun, keberadaan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari pelembagaan fungsi representasi.
Optimisme akan hadirnya lembaga DPD yang kuat dan berpengaruh dalam menata ulang relasi pusat-daerah serta mengawal agenda desentralisasi dan otonomi luas bagi daerah berangsur-angsur sirna.
Ternyata amandemen ketiga konstitusi hanya melahirkan DPD tanpa fungsi dan kewenangan yang memadai. Seperti yang diamanatkan Pasal 22D Ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945 hasil amandemen.[2]
Bila dilihat dalam Pasal 22D UUD NRI 1945 tersebut, fungsi dan kewenangan yang dimiliki DPD memang sangat terbatas. Baik dalam bidang legislasi, bidang anggaran, serta bidang pengawasan.
Meskipun kedudukannya merupakan salah satu lembaga negara yang sejajar dengan DPR, MPR, Presiden, MA, MK, dan BPK. Serta anggota-anggotanya dipilih langsung melalui pemilu, ternyata dalam konstitusi hanya diberi fungsi yang sangat sumir dan nyaris tak berarti jika dibandingkan dengan biaya politik yang mahal dan proses perekrutannya yang demokratis.[3]
Apa yang disebutkan dalam Pasal 22D UUD 1945 di atas, menunjukkan bahwa fungsi dan kewenangan DPD sangat terbatas. Apalagi jika dikaitkan bahwa DPD adalah sebagai lembaga perwakilan yang ditetapkan oleh UUD 1945.
Hal itu merupakan kendala yang dihadapi DPD. Kendala itu secara ringkas bisa disebutkan antara lain:
- Kewenangannya di bidang legislasi hanya sebatas mengusulkan dan membahas tetapi tidak ikut dalam pengambilan keputusan ↗;
- dalam bidang pengawasan hanya sebatas memberikan masukan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan; tidak ada ketentuan yang mengatur hak DPD untuk meminta keterangan dari pejabat negara, pejabat pemerintah dan lainnya seperti yang diberikan kepada DPR.
Dengan demikian, meskipun DPD digembosi sedemikian rupa terkait pembatasan kewenangannya, tetapi DPD mempunyai kewenangan dalam merancang undang-undang tertentu yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Ketentuan tersebut, baik dari gagasan membentuk DPD maupun konsep badan perwakilan sebagai unsur badan legislatif pusat sangat menyesatkan
Kewenangan Konstitusional DPD dalam Pembentukan Undang-Undang
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 pada Rabu, 27 Maret 2013, politik ketatanegaraan Indonesia khususnya model legislasi telah semakin mempertegas bentuknya menuju arah sistem parlemen dua kamar.
Hal ini merupakan implikasi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan yang diajukan oleh DPD.[4]
Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa:
“Seluruh ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ↗ (UU P3) yang telah mereduksi atau mengurangi kewenangan DPD sebagaimana dimaksudkan pada saat DPD dibentuk dalam konstitusi haruslah dinyatakan inkonstitusional …”
“Begitu pula terhadap Penjelasan Umum dan penjelasan pasal demi pasal kedua undang-undang tersebut yang terkait dengan kewenangan konstitusional DPD, harus pula dianggap menyesuaikan dengan pemahaman atau penafsiran yang diberikan oleh MK. Selanjutnya, seluruh ketentuan yang mereduksi atau mengurangi kewenangan DPD dalam kedua undang-undang tersebut, baik yang dimohonkan atau yang tidak dimohonkan oleh Pemohon, tetapi berkaitan dengan kewenangan DPD harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 atau dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD NRI 1945 apabila tidak sesuai dengan pemahaman atau penafsiran yang diberikan oleh MK.”[5]
Pada prinsipnya, MK telah memperkuat kewenangan konstitusional DPD dalam tiga aspek, yakni:
- kewenangan DPD dalam mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berkaitan dengan daerah;
- kewenangan DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan daerah; dan
- keterlibatan DPD dalam penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Kewenangan Konstitusional DPD RI dalam Proses Legislasi Pasca Putusan MK Nomor: 92/PUU-X/2012
Sebelum adanya Putusan MK No. 92/PUU-X/2012, mengenai kewenangan DPD dalam pembentukan UU, wewenang dan keterlibatan DPD dalam pembentukan undang-undang sangat terbatas dan sumir.
Ada perubahan kewenangan ↗ pasca Putusan MK, yaitu:
- Perubahan dalam Proses Penyusunan dan Pengajuan RUU
- Proses penyusunan Prolegnas Pasca Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012
Proses penyusunan Prolegnas dilakukan oleh tiga lembaga. DPR, DPD, dan Pemerintah:
- Jika dilakukan oleh lembaga DPR dengan cara Badan legislatif (Baleg). Menyusun prolegnas di lingkungan DPR berdasarkan usulan anggota, Fraksi, Komisi dan/atau masyarakat.
- Apabila oleh lembaga DPD dengan cara Panitia Perancang Undang-Undang PPUU menyusun Prolegnas di lingkungan DPD berdasarkan usulan Anggota, Provinsi, Komite dan/atau masyarakat.
- Demikian juga oleh Pemerintah dengan cara Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia (Menkumham) menyusun prolegnas di lingkungan pemerintah.
- Proses Pengajuan dan Pembahasan RUU dari DPD Pasca Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012
Dalam hal pengajuan RUU, maka Pimpinan DPD menyampaikan RUU secara tertulis ke Pimpinan DPR dan Presiden (Putusan MK angka 1.17.5).
Selanjutnya, Pimpinan DPR ↗ menyampaikan RUU pada Rapat Paripurna DPR, sedangkan presiden menyampaikan RUU pada menteri terkait.
DPR, DPD dan Presiden menunjuk Alkel/Menteri untuk membahas RUU secara Tripartit dan kemudian DPR mengundang DPD dan Presiden untuk pembahasan RUU secara Tripartit.
Kewenangan DPD setelah adanya putusan MK adalah menempatkan kedudukan DPD yang setara dengan DPR dan Presiden. Telah terjadi perubahan dalam Proses Penyusunan dan Pengajuan RUU di DPR RI yaitu:
- Penyusunan Prolegnas;
- Pengajuan dan Pembahasan RUU dari DPD;
- Proses Pengajuan dan Pembahasan RUU dari DPR, dan
- Proses Pengajuan dan pembahasan RUU dari Presiden dan untuk menjelaskan akibat hukum dengan adanya Putusan MK tersebut.
Simpulan
Sebelum adanya putusan MK terkait dengan wewenang DPD, DPD hanya menjalankan 2 fungsi: Legislasi dan pengawasan. Itu pun tidak utuh. Legislasi hanya terkait dengan RUU kedaerahan, termasuk pengawasan.
Bahkan, fungsi anggaran tidak dimiliki DPD. Anggaran DPD yang tertera di APBN diusulkan dan ditentukan DPR melalui Banggar. Terkait dengan perancangan undang-undang DPD sangat dibatasi.
Kewenangan DPD setelah adanya Putusan MK, menempatkan kedudukannya yang setara dengan DPR dan Presiden. Sebagaimana diatur dalam Pasal 22 D ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
Setelah Putusan MK, maka telah terjadi perubahan dalam Proses Penyusunan dan Pengajuan RUU di DPR RI. Perubahan tersebut antara lain penyusunan prolegnas dan proses pengajuan serta pembahasan RUU dari DPD.
Demikian. Semoga bermanfaat.
Baca juga: Apa itu Perbuatan Melanggar Hukum oleh Penguasa ↗.
[1] Zahratul Idami, Kewenangan DPD setelah adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 92/PUU-X/2012, (Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 63 Th. XVI, Fakultas Hukum Universitas Siah Kuala, Darusalam, Banda Aceh, Agustus 2014)., hlm. 304.
[2] Lihat UUD NRI 1945 Setelah Amandemen
[3] Moh. Mahfud MD. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konsitusi. Jakarta: Rajawali Pers, 2011., hlm. 69.
[4] Majalah Konstitusi No. 74 ISSN: 1829-7692, edisi April 2013, hlm. 3.
[5] Ibid., hlm. 12.