Salah satu asas yang dikenal dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Asas Presumptio Iustae Causa. Asas ini pada pokoknya mendefinisikan bahwa setiap keputusan tata usaha negara adalah dianggap sah.
Namun ada pengecualian—yaitu apabila dikatakan sebaliknya—baik oleh pejabat yang mengeluarkan keputusan atau atasan pejabat. Di samping itu, dibuktikan sebaliknya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.
Sengketa Tata Usaha Negara adalah Sengketa yang menyangkut subjek hukum orang atau badan hukum perdata dengan pejabat/badan TUN. Sengketa dimaksud mempermasalahkan objek berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan pejabat/badan TUN—dilangsungkan di Peradilan Tata Usaha Negara.
Daftar Isi
“Pengenalan” dengan Asas Presumptio Iustae Causa
Saya mengenal Asas Presumptio Iustae Causa ini ketika masih awal-awal bersengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara. Saat itu, dalam gugatan yang saya ajukan, salah satu permohonannya adalah meminta menunda pelaksanaan keputusan objek sengketa. Akan tetapi, ada materi eksepsi yang diajukan Tergugat dengan menggunakan Asas Presumptio Iustae Causa.
“Pengenalan” itu kemudian menginspirasi saya menuliskan Asas Presumptio Iustae Causa ini. Tulisan mengenai asas ini juga, akan dikaitkan dengan permohonan penundaan yang dimungkinkan diajukan bersamaan dengan gugatan.
Baiklah. Seperti sudah disampaikan di atas, dalam hukum administrasi ada dikenal dengan Asas Presumptio Iustae Causa. Apa yang dimaksud Asas Presumptio Iustae Causa?
Apa itu Asas Presumptio Iustae Causa?
Asas Presumptio Iustae Causa atau asas het Vermoden van Rechmatigheid adalah asas yang semula terdapat dalam hukum administrasi dan kemudian dimasukkan sebagai salah satu asas dalam peradilan administrasi. Asas ini menyatakan bahwa demi kepastian hukum, setiap keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan harus dianggap benar menurut hukum. Karenanya, dapat dilaksanakan lebih dahulu selama belum dibuktikan sebaliknya dan dinyatakan oleh hakim administrasi sebagai keputusan yang bersifat melawan hukum[1].
Wikipedia menyebutkan asas ini sebagai Asas praduga keabsahan (rechtmatig; vermoeden van rechtmatigheid; preasumtio iustae causa): setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap sah (rechtmatig) sampai ada pembatalannya.
Asas Presumptio Iustae Causa dianut dalam prinsip umum Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU Peratun). Ketentuan tersebut menentukan:
“Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat”.
Dalam penjelasannya menyebutkan bahwa:
Berbeda dengan Hukum Acara Perdata maka dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu selalu berkedudukan sebagai pihak yang mempertahankan keputusan yang telah dikeluarkannya terhadap tuduhan penggugat bahwa keputusan yang digugat itu melawan hukum.
Akan tetapi selama hal itu belum diputus oleh Pengadilan, maka Keputusan Tata Usaha Negara itu harus dianggap menurut hukum.
Dan proses di muka Pengadilan Tata Usaha Negara memang dimaksudkan untuk menguji apakah dugaan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu melawan hukum beralasan atau tidak. Itulah dasar hukum acara Tata Usaha Negara yang bertolak dari anggapan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu selalu menurut hukum.
Dari segi perlindungan hukum, maka Hukum Acara Tata Usaha Negara yang merupakan sarana hukum untuk dalam keadaan konkret meniadakan anggapan tersebut. Oleh karena itu, pada asasnya selama hal tersebut belum diputuskan oleh Pengadilan, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dianggap menurut hukum, dapat dilaksanakan.
Menurut W. Riawan Tjandra[2], ketentuan di atas menimbulkan setidaknya 2 (dua) penafsiran, antara lain:
- KTUN selalu harus dianggap menurut hukum atau memiliki legalitas untuk dilaksanakan sejauh belum ada putusan Pengadilan yang inkracht van gewijsde mengenai harus dinyatakan batal atau tidak sahnya Keputusan (beschikking) tersebut. Proses di muka Pengadilan Tata Usaha Negara memang dimaksudkan untuk menguji (toetsing) apakah dugaan bahwa KTUN yang digugat itu melawan hukum beralasan atau tidak.
- Seharusnya, KTUN sudah merupakan bentuk atau manifestasi tindakan pemerintahan dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Namun, dari ketentuan Pasal 67 ayat (1) tersebut, antara KTUN dengan tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dibedakan dengan penambahan kata “serta” di antara keduanya.
Secara sederhana, definisi asas Presumptio Iustae Causa adalah setiap keputusan pejabat tata usaha negara dianggap sah, kecuali dibuktikan sebaliknya.
Artinya, meskipun keputusan badan/pejabat TUN tersebut dikeluarkan tidak melalui prosedur yang benar, maka tetap dianggap sah. Atau, dikeluarkan melanggar substansi dan/atau melampaui kewenangan—sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya, menurut hukum dianggap sah.
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya penundaan pelaksanaan keputusan TUN.
Apa itu Penundaan Pelaksanaan Keputusan TUN?
Pada dasarnya penundaan pelaksanaan keputusan TUN diatur dalam ketentuan Pasal 67 ayat (2) UU Peratun. Meskipun keputusan TUN badan/pejabat dianggap sah, akan tetapi, ketentuan Pasal 67 ayat (2) menentukan:
“Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN dimaksud harus diajukan bersamaan dengan gugatan.
Dalam penjelasan ketentuan Pasal 67 ayat (2) UU Peratun menyebutkan:
Dalam keadaan tertentu, penggugat dapat mengajukan permohonan agar selama proses berjalan, Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu diperintahkan ditunda pelaksanaannya. Pengadilan akan mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut hanya apabila:
- terdapat keadaan yang sangat mendesak, yaitu jika kerugian yang akan diderita penggugat akan sangat tidak seimbang dibanding dengan manfaat bagi kepentingan yang akan dilindungi oleh pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut; atau
- pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan umum dalam rangka pembangunan.
Dengan diperbolehkannya meminta penundaan pelaksanaan keputusan TUN, artinya asas Presumptio Iusate Causa dapat dikesampingkan. Namun demikian, permohonan penundaan dimaksud haruslah memenuhi kriteria sebagaimana di atas.
Oleh karena itu, untuk menilai adanya “keadaan yang sangat mendesak” harus dilihat secara kasuistik berdasarkan fakta konkret yang terjadi dan kemungkinan kerugian yang akan timbul harus dinilai secara obyektif.[3]
Contoh Putusan Mengesampingkan Asas Presumptio Iustae Causa
Sebagai pelengkap pada artikel ini, saya mengambil putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 164/G/2020/PTUN-JKT, tanggal 20 Januari 2021. Putusan ini mengesampingkan asas Presumptio Iustae Causa. Dengan kata lain, dalam putusan akhir, pengadilan memutuskan untuk menunda pelaksanaan objek sengketa.
Dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan[4]:
“…dengan terbitnya objek sengketa akan mempengaruhi proses beralihnya status dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) yang mana Penggugat sudah mendapatkan rekomendasi dari pihak-pihak terkait, dan yang berikutnya yaitu Masa Jabatan Rektor yang tinggal beberapa bulan ke depan yang akan mengakibatkan masa jabatan Rektor akan berakhir sebelum perkara berkekuatan hukum tetap, serta yang terpenting adalah sebuah Perguruan tinggi akan sangat memerlukan seorang Rektor dalam hal pengambilan suatu keputusan atau kebijakan yang bersifat strategis (penting)”.
Hakim mempertimbangkan, karena ada hal yang sangat penting, maka objek sengketa haruslah ditunda. Apabila tidak ditunda pelaksanaannya, maka akan merugikan kepentingan umum.
Penutup
Secara sederhana, asas Presumptio Iustae Causa adalah setiap keputusan pejabat tata usaha negara dianggap sah, kecuali dibuktikan sebaliknya. Pembuktian sah atau tidaknya dilakukan pengujian melalui Peradilan Tata Usaha Negara.
Meskipun dalam hukum administrasi terdapat asas Presumptio Iustae Causa, pihak Penggugat dapat mengajukan penundaan pelaksanaan surat keputusan TUN. Hal ini secara tegas diatur melalui Pasal 67 UU Peratun.
Demikian. Semoga bermanfaat.
[1] S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, (FH UII Press, 2015)., hlm., 222.
[2] W. Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (UAJY 2005)., hlm., 77-78.
[3] W. Riawan Tjandra, ibid., hlm.,78-79.
[4] Lihat lebih lengkap pertimbangan hukum pengadilan dalam putusan Nomor: 164/G/2020/PTUN-JKT, tanggal 20 Januari 2021., hlm., 94.