Pembagian harta bersama apabila tidak dapat diselesaikan melalui jalur kekeluargaan, maka upaya hukum dapat mengajukan gugatan di pengadilan ↗. Permasalahan pembagian harta bersama atau yang sering disebut gono-gini (sebutan bakunya adalah gana-gini), sering terjadi di pengadilan. Sebenarnya bagaimana pembagian harta? Apakah selamanya harta gana-gini tersebut dibagi 2?
Bagi Anda yang sedang mencari informasi tentang pertanyaan di atas, sudah tepat membaca artikel ini. Sebab, tulisan ini bukan hanya menyampaikan materi pembagian harta gana-gini. Namun, beberapa putusan pengadilan yang menggambarkan pembagian gana-gini.
Untuk itu, saya ingin memulai dari pengaturan tentang harta bersama.
Daftar Isi
Pengaturan tentang Harta Bersama
Pengaturan tentang harta gana-gini ini terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Misalnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), Kompilasi Hukum Islam (KHI); juga ada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Apa itu Harta Bersama
Dalam artikel Syarat dan Proses Gugatan Harta Bersama ↗, saya sudah menjelaskan beberapa definisi terkait dengan harta bersama. Demikian juga telah menyampaikan pembagian harta bersama. Namun, artikel ini secara spesifik membahas apakah harta gana-gini otomatis dibagi dua pasca perceraian ↗?
Apa itu harta bersama? Harta bersama adalah Harta bersama atau istilah lain harta gana-gini adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama[1].
Apakah Pembagian Harta Bersama Selamanya Dibagi 2?
Secara norma, baik yang disebutkan dalam UU Perkawinan, KHI, maupun KUH Perdata, harta yang dihasilkan dalam perkawinan adalah harta bersama. Harta bersama tersebut ketika terjadi cerai ↗ hidup, akan dibagi dua. Seperdua untuk mantan suami, setengahnya lagi untuk bekas istri.
Namun demikian, ada kondisi tertentu pembagian harta bersama tidak dapat dibagi dua. Keadaan seperti apa yang dimaksud? Misalnya seperti ini:
Sepasang suami istri sama-sama bekerja dan menghasilkan uang. Gaji suami istri ini per bulannya adalah sama, misalnya Rp5.000.000 (lima juta rupiah). Beberapa tahun kemudian suami istri ini cerai di pengadilan. Dari sini kita sudah bisa melihat bahwa ada beban ganda yang dipikul sang istri, yaitu ibu rumah tangga dan mencari nafkah. Beban ganda si istri ini bisa mengakibatkan pembagian harta bersama, lebih besar didapatkan istri ketimbang suami. Untuk memperkuat argumentasi ini, saya mengutip putusan pengadilan.
Putusan Nomor 78 K/Ag/2021
Adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 78 K/Ag/2021, tanggal 26 Maret 2021. Putusan ini menguatkan putusan pengadilan tinggi, yang menjatuhkan pembagian harta bersama 70 persen untuk istri. Sementara suami mendapatkan 30 persen.
Berikut pertimbangan hukum hakim:
“Menimbang, bahwa Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Pasal 75 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyatakan suami adalah kepala keluarga yang berkewajiban mencari nafkah, menyediakan tempat kediaman anak dan istrinya, sedangkan istri adalah ibu rumah tangga yang berkewajiban mengurus rumah tangga dan mengasuh anak”.
“Bahwa dalam keadaan kedua belah pihak menjalankan fungsi masing-masing tersebut terhadap harta bersama masing-masing mempunyai hak ½ (seperdua) bagiannya”.
“Bahwa namun demikian apabila istri menjalani dua fungsi sekaligus, yaitu berusaha/bekerja memenuhi kebutuhan rumah tangga dan juga mengurus rumah tangga serta mengasuh anak sebagaimana dalam perkara a quo, maka terhadap harta bersama tidak adil apabila masing-masing mendapat ½ (seperdua) bagian. Oleh karena itu, pembagian harta bersama seperti yang telah ditetapkan Judex Facti yaitu 70 (tujuh puluh) persen untuk Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi dan 30 (tiga puluh) persen untuk Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi”.
Dari pertimbangan hukum Mahkamah Agung di atas, pengadilan beralasan apabila suami istri menjalankan masing-masing perannya, maka harta bersama dibagi dua. Namun, apabila ternyata istri selain mengurus rumah tangga dan mengasuh anak, juga berperan mencari nafkah, maka bukan tidak mungkin harta bersama tidak dapat dibagi dua.
Pembagian Harta Bersama Berdasarkan Kontribusi
Di samping pembagian harta gana-gini dengan alasan istri memiliki peran ganda, terdapat juga karena kontribusi. Artinya, ketentuan dalam norma yang harus dibagi dua tidak serta merta berlaku. Beberapa hakim menyampingkan ketentuan, misalnya Pasal 97 KHI dan ketentuan yang serupa. Sebab, ada hal-hal yang mesti dipertimbangkan lebih jauh yaitu keadilan.
Pertimbangan tersebut tentu saja berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Fakta berupa istri yang memiliki beban ganda (double burden) atau memiliki kontribusi lebih besar dalam menghasilkan harta bersama.
Tentu saja sangat tidak adil apabila pengadilan tetap berpijak pada ketentuan yang mengatakan pembagian harta bersama adalah separuh-separuh. Untuk memperkuat argumentasi ini, saya mengutip putusan pengadilan.
Putusan Nomor 266 K/Ag/2010
Yurisprudensi ↗ Mahkamah Agung Nomor 266 K/Ag/2010, tanggal 12 Juli 2010, yang menjadi rujukan sebagai basis argumentasi di atas. Putusan Pengadilan ↗ ini berkaitan dengan pembagian harta bersama.
Pengadilan menetapkan bekas istri mendapatkan ¾ bagian. Sementara suami ¼ bagian. Apa alasan hakim membagi harta bersama dengan porsi bekas istri lebih banyak dibanding bekas suami? Berikut pertimbangannya:
“Bahwa berdasarkan bukti dana fakta-fakta di persidangan, ternyata suami tidak memberikan nafkah dari hasil kerjanya dan seluruh harta bersama diperoleh istri dari hasil kerjanya, maka demi rasa keadilan, pantaslah Penggugat (bekas istri) memperoleh harta bersama sebesar ¾ (tiga per empat) dan Tergugat berhak memiliki ¼ (seperempat)”.
Di samping itu, sebagaimana mengutip Muhamad Beni Kurniawan dalam Jurnal Komisi Yudisial ↗, yang menganalisis Putusan Nomor 618/PDT.G/2012/PA.BKT, bahwa pembagian harta bersama berdasarkan kontribusi suami istri dalam perkawinan dari perspektif keadilan adalah pembagian harta bersama dengan menilai besaran kontribusi para pihak. Di mana pembagian yang adil tidak harus dibagi 50 persen bagi duda dan 50 persen bagi istri. Akan tetapi, duda bisa mendapatkan bagian yang lebih kecil dari janda apabila kontribusinya kurang selama perkawinan, dan tidak menjalankan kewajibannya sebagai pencari nafkah ….
Penutup
Dari uraian di atas, ternyata, tidak secara otomatis pembagian harta bersama mengikuti ketentuan yaitu dibagi dua. Ada hal-hal yang harus dipertimbangkan pengadilan ↗ yaitu berdasarkan peran masing-masing pihak.
Sangat tidak adil, memang, pengadilan memberikan porsi harta bersama sama banyak. Padahal terdapat fakta pihak suami lebih kecil kontribusinya untuk menghasilkan harta bersama tersebut.
Dengan pembagian harta gana-gini yang didasarkan pada kontribusi dan beban ganda di atas, maka hak-hak perempuan ↗ dapat terpenuhi.
Demikian. Semoga bermanfaat.
[1] Lihat Ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.