Lompat ke konten

Penting Mengetahui Apa itu Asas Fiksi Hukum

Bacaan 4 menit

Last Updated: 23 Mar 2022, 07:58 pm

apa itu asas fiksi hukum
Ilustrasi. Sumber gambar: pixlr.com

Pertanyaan: beberapa bulan lalu saya diberhentikan sebagai PNS. Akan tetapi, pemberhentian saya tersebut menggunakan peraturan lama. Padahal telah ada peraturan baru. Apakah diperbolehkan?

Menjawab pertanyaan di atas, saya teringat salah satu asas yang dianut di Indonesia, yaitu asas fiksi hukum. Asas ini menerangkan pada pokoknya bahwa ketika suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu (presumption iures de iure).

Melalui pertanyaan di atas, artikel kali ini membahas tentang asas fiksi hukum secara sederhana. Asas fiksi hukum ini dikaitkan dengan pemberhentian PNS pasca berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PP No. 94/2021).  

Apa itu Asas Fiksi Hukum?

Mengutip Riki Perdana Raya Waruwu dalam artikelnya , Asas Fiksi Hukum beranggapan bahwa ketika suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu (presumption iures de iure). Ketentuan tersebut berlaku mengikat, sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum (ignorantia jurist non excusat).

Menurut van Apeldoorn[1] Fictie ialah, bahwa kita menerima sesuatu yang tidak benar sebagai suatu hal yang benar. Dengan perkataan lain kita menerima apa yang sebenarnya tidak ada, sebagai ada atau yang sebenarnya ada sebagai tidak ada.

Dengan kata lain, setiap diundangkannya peraturan perundang-undangan dalam lembaran resmi, maka setiap orang dianggap telah mengetahuinya.

Keberadaan Asas Fiksi Hukum

Keberadaan asas fiksi hukum ini dapat kita lihat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 12/2011).

Agar lebih terang, saya mengutip ketentuan Pasal 81 UU No. 12/2011, yang menyebutkan:

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam:

  1. Lembaran Negara Republik Indonesia;
  2. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia;
  3. Berita Negara Republik Indonesia;
  4. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia;
  5. Lembaran Daerah;
  6. Tambahan Lembaran Daerah; atau
  7. Berita Daerah.

 Dalam penjelasannya menyebutkan:

Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya”.

Dari penjelasan tersebut, siapa pun, baik masyarakat di pedalaman maupun di perkotaan dianggap tahu produk perundang-undangan apabila telah diundangkan dalam lembaran resmi negara.

Asas Fiksi Hukum dan Peristiwa Pemberhentian PNS

Ada satu peristiwa terkait dengan pemberhentian PNS sebagaimana pertanyaan di atas. Peristiwa ini kemudian “tidak menerapkan” asas fiksi hukum sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 81 di atas.

Ceritanya begini: PNS A diberhentikan oleh Pejabat yang Berwenang (PyB) menghukum pada 29 Agustus 2021. Pemberhentian tersebut menggunakan dasar Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Sementara tanggal 31 Agustus 2021 telah ada peraturan baru yaitu PP No. 94/2021.

Ketentuan Pasal 45 PP No. 94/2021 tersebut menentukan:

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135), sepanjang tidak mengatur jenis Hukuman Disiplin sedang, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”. Perlu diketahui bahwa pemberhentian sebagai PNS termasuk hukuman disiplin tingkat berat.

Melihat rentang waktu antara pemberhentian PNS A, tanggal 26 Agustus 2021, sementara pemberlakuan PP No. 94/2021, tanggal 31 Agustus 2021—adalah 5 (lima) hari.

Berdasarkan cerita di atas, apakah PyB yang memberhentikan PNS A dianggap tidak mengetahui adanya peraturan perundang-undangan yang baru?

Mencermati definisi asas hukum di atas, yang dihubungkan dengan penjelasan Pasal 81 UU No. 12/2011 “setiap orang dianggap telah mengetahui apabila perundang-undangan telah diundangkan”, maka tindakan PyB adalah cacat menurut hukum.

Mengapa demikian? Karena pemberhentian PNS A pada 26 Agustus 2021 dengan menggunakan dasar ketentuan PP Nomor 53 Tahun 2010yang secara hukum telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Artinya, ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan ketentuannya tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 87 UU No. 12/2011 berikut:

“Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”.

Pasal 87 di atas dihubungkan dengan Pasal 81 huruf UU No. 12/2011, maka secara terang dan jelas, PP No. 94/2021 diundangkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2021 Nomor 202.

Sebagaimana asas fiksi hukum, ketika PP No. 94/2021 diundangkan pada lembaran negara RI, maka PP tersebut berlaku mengikat dan wajib dilaksanakan—termasuk PyB yang memberhentikan PNS A.

Penutup

Dari uraian tersebut, yang dihubungkan dengan pertanyaan di atas “pemberhentian menggunakan peraturan lama, padahal telah ada peraturan baru” tidak diperbolehkan apabila menganut asas fiksi hukum. Karena ketentuan PP 53 Tahun 2010 telah secara tegas dicabut dan dinyatakan tidak berlaku melalui PP No. 94/2021.

Sehingga, keputusan Pejabat yang Berwenang menghukum PNS A dapat dibatalkan, baik melalui PyB yang mengeluarkan keputusan, atasan PyB, atau Peradilan Tata Usaha Negara .

Demikian. Semoga bermanfaat.


[1] L.J. van Apeldoorn, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 407.

Tinggalkan Balasan