Siapa pun itu, tidak ingin berurusan dengan hukum. Tak lebih dengan seorang perempuan ↗. Akan tetapi, ada hal-hal yang memang tak bisa dihindari, sehingga begitu banyak perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Artikel kali ini secara khusus membahas tentang perempuan yang berhadapan dengan hukum. Bukan hanya itu saja, beberapa aspek dari definisi perempuan yang berhadapan dengan hukum juga akan dibahas.
Untuk itu, simak hal-hal mendasar yang berkaitan dengan perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Baca Juga: Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) ↗
Daftar Isi
Pengaturan Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum
Pembahasan terkait perempuan yang berhadapan dengan hukum, tidak terlepas dari peraturan yang mengaturnya.
Undang-Undang Dasar 1945 telah menentukan terkait dengan pelarangan tindakan diskriminatif. Hal ini secara tegas diatur dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 ↗ yang menentukan:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Selanjutnya, terdapat pula pengaturan dalam ketentuan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menentukan:
“Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Di samping itu, berdasarkan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Right [ICCPR]). ICCPR ini kemudian diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Right.
Ketentuan tersebut pada pokoknya menegaskan bahwa, semua orang adalah sama di hadapan hukum. Dan peraturan perundang-undangan ↗ melarang diskriminasi, serta menjamin perlindungan yang setara bagi semua orang dari diskriminasi berdasarkan alasan apa pun, termasuk gender.
Selain itu, terdapat Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum (Perma No. 3/2017). Dan, masih terdapat banyak peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perempuan.
Sekarang, beralih definisi perempuan dan perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Baca Juga: Apa itu Restorative Justice? ↗
Apa itu Perempuan?
Kamus Besar Bahasa Indonesia ↗ (KBBI) mendefinisikan perempuan adalah:
- orang (manusia) yang mempunyai vagina, biasanya dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak ↗, atau menyusui; wanita; puan
- istri; bini: –nya sedang hamil
- betina (khusus untuk hewan)
Perempuan menurut Wikipedia ↗ Perempuan adalah istilah untuk jenis kelamin manusia yang berbeda dengan laki-laki. Dalam bahasa Sansekerta, kata perempuan diambil dari kata per + empu + an. Per, memiliki arti makhluk, dan empu, yang berarti mulia, tuan, mahir.
Dengan demikian perempuan bisa dimaknai sebagai makhluk yang memiliki kemuliaan atau kemampuan. Perempuan memiliki organ-organ reproduksi yaitu ovarium, eterus, dan vagina, serta mampu menghasilkan sel gamet yang disebut sel telur. Perempuan juga memiliki kemampuan untuk menstruasi, mengandung, melahirkan anak, dan menyusui.
Apa itu Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum?
Perempuan yang berhadapan dengan hukum adalah perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi, atau perempuan sebagai pihak.
4 Aspek Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum
Dari definisi di atas, setidaknya terdapat empat aspek yang mesti dibahas, yaitu perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi, dan perempuan sebagai pihak.
Mari kita bahas satu per satu.
1. Perempuan yang Berkonflik dengan Hukum
Apa itu perempuan yang berkonflik dengan hukum? Perempuan yang berkonflik dengan hukum adalah perempuan yang diduga melakukan tindak pidana.
Perempuan yang berkonflik dengan hukum mempunyai hak untuk diperlakukan secara adil tanpa diskriminasi dalam sistem peradilan pidana ↗.
Berdasarkan hal tersebut, maka setiap perempuan yang diduga berkonflik dengan hukum, wajib untuk tidak dinyatakan bersalah sebelum ada putusan pengadilan ↗ yang berkekuatan hukum tetap.
Di samping itu, ketika perempuan yang berkonflik dengan hukum berhak atas bantuan hukum ↗ di setiap tahap pemeriksaan yaitu penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan persidangan pidana ↗.
2. Perempuan Sebagai Korban
Apa itu korban? Korban adalah orang yang mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan dari subjek hukum lain, baik dalam lingkup rumah tangga maupun di luar lingkungan keluarga.
KBBI mendefinisikan korban ↗ sebagai:
- pemberian untuk menyatakan kebaktian, kesetiaan, dan sebagainya; kurban: jangankan harta, jiwa sekalipun kami berikan sebagai –
- orang, binatang, dan sebagainya yang menjadi menderita (mati dan sebagainya) akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan sebagainya: sepuluh orang — tabrakan itu dirawat di rumah sakit Bogor
Perempuan sebagai korban ini biasanya seputar kasus kekerasan dalam rumah tangga ↗ (KDRT). Apabila perempuan sebagai korban dalam KDRT, maka harus diberikan perlindungan hukum.
Perlindungan hukum diberikan karena untuk melindungi harkat dan martabat manusia yang dimiliki setiap subjek hukum yaitu perempuan (istri) dalam KDRT.
Selain itu, terdapat pula beberapa kasus perempuan sebagai korban tindak kejahatan di luar lingkungan rumah tangga. Apabila terjadi hal-hal semacam ini, maka perempuan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari segala apa yang mengancam keberadaannya.
Bukan hanya itu saja, apabila terjadi kasus perempuan sebagai korban tindak pidana, maka dia berhak mendapatkan pemulihan. Selain itu, berhak pula mendapatkan ganti-rugi atas penderitaan akibat tindak pidana.
3. Perempuan Sebagai Saksi
Salah satu aspek perempuan yang berhadapan dengan hukum adalah perempuan sebagai saksi.
Apa itu saksi? Secara sederhana, saksi adalah orang yang diminta hadir karena mengetahui suatu peristiwa untuk memberikan keterangan.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menyebutkan:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri”.
Saksi menurut KBBI ↗ adalah:
- orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian): siapa –nya bahwa saya berbuat begitu?; langit dan bumi yang menjadi –
- orang yang dimintai hadir pada suatu peristiwa yang dianggap mengetahui kejadian tersebut agar pada suatu ketika, apabila diperlukan, dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi: dua orang itu ikut menandatangani kontrak sebagai –
- orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa: — yang kedua itu oleh hakim dianggap tidak sah
- keterangan (bukti pernyataan) yang diberikan oleh orang yang melihat atau mengetahui
- bukti kebenaran: ia berani memberi — dengan sumpah
- orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang didengarnya, dilihatnya, atau dialaminya sendiri
Perempuan sebagai saksi yang dimaksud dalam artikel ini adalah saksi dalam sistem peradilan di Indonesia ↗. Karena setiap perkara, memerlukan saksi sebagai alat bukti. Baik dalam perkara pidana, perdata ↗, perdata agama, atau tata usaha negara ↗.
Untuk itu, perempuan sebagai saksi haruslah memperoleh perlindungan dan keamanan pribadi. Di samping itu, perempuan sebagai saksi bebas dari ancaman dalam hal memberikan kesaksiannya. Bukan hanya itu saja, perempuan sebagai saksi juga harus bebas dari pertanyaan yang menjerat.
4. Perempuan Sebagai Pihak
Salah satu aspek pembahasan perempuan yang berhadapan dengan hukum adalah perempuan sebagai pihak.
Sebelum mengulas lebih jauh, saya ingin mengemukakan definisi “Pihak” dalam KBBI ↗ yaitu:
- sisi (yang sebelah); bagian: — atas; — bawah; — kanan; — kiri;
- arah; jurusan: seakan-akan angin datang dari segala;
- satu dari golongan (partai, orang) yang bertentangan atau berlawanan (dalam perang, permainan, politik, perjanjian ↗, dan sebagainya): dalam perang ini — yang menang dan — yang kalah sama-sama menderita kerusakan; saya yakin dia akan melindungi — yang benar; kedua (belah) — kedua-duanya (tentang dua golongan atau dua orang yang bertentangan);
- (pada –) dalam hal; mengenai: pada — agama, mereka itu bersikap netral;
- orang yang termasuk dalam satu lingkungan dan kepentingan; kalangan: lurah melaporkan hal tersebut kepada — berwajib; — kejaksaan belum mengetahui tentang ditangkapnya penjahat itu;
- orang; golongan: korban bencana alam itu memerlukan uluran tangan dari semua.
Perempuan sebagai pihak yang dimaksud dalam artikel ini misalnya sebagai tergugat/termohon atau penggugat/pemohon dalam suatu perkara yang diajukan ke pengadilan.
Artinya, apabila terdapat perkara yang, perempuan sebagai pihak, maka mesti menerapkan keseimbangan dan kesamaan antara perempuan dan laki-laki. Untuk perkara jenis ini, biasanya terkait dengan perceraian ↗.
Mengutip Abdul Azis ↗ dalam artikelnya[1] menyebutkan:
… Dalam praktiknya, penanganan perempuan sebagai pihak yang bersengketa, majelis hakim akan menerapkan asas-asas yang bersesuaian. Mulai dari memperlakukan perempuan sama di depan hukum, kesetaraan gender ↗, serta mengedepankan adanya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum tanpa adanya diskriminasi….
… Majelis Hakim tidak semena-mena dalam memeriksa dan mengadili perkara yang melibatkan perempuan sebagai pihak, meskipun pihak yang mengajukan gugatan adalah perempuan …
… Dalam pemeriksaan perkara, hakim senantiasa mempertimbangkan adanya kesetaraan gender dan non-diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan …
Dalam perkara perceraian ↗, pihak-pihak yang terlibat dalam perkara tersebut seharusnya memahami stereotip gender.
Apa itu stereotip gender? Stereotip gender adalah pandangan umum atau kesan tentang atribut atau karakteristik yang seharusnya dimiliki dan diperankan perempuan dan laki-laki[2].
Gambaran tersebut sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ↗ (UU Perkawinan).
UU Perkawinan menganut asas ↗ menempatkan hak dan kedudukan perempuan (istri) seimbang dengan hak dan kedudukan laki-laki (suami). Baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami ↗ dan istri[3].
Penutup
Terdapat tiga aspek perempuan yang berhadapan dengan hukum. Pertama, perempuan yang berkonflik dengan hukum. Kedua, perempuan sebagai korban. Ketiga, perempuan sebagai saksi. Keempat, perempuan sebagai pihak.
Dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, telah melarang melakukan tindakan diskriminatif, termasuk kepada perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Demikian. Semoga bermanfaat.
Baca Juga: 6 Kategori Sidang Tertutup untuk Umum ↗
[1] Abdul Aziz, Implementasi Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Penanganan Perempuan Berhadapan dengan Hukum di Mahkamah Syar’iah Banda Aceh, Artikel, 2021.
[2] Lihat dalam Ketentuan Pasal 1 angka 7 Perma No. 3/2017.
[3] Lihat Penjelasan Umum angka 4 huruf f UU Perkawinan.