Lompat ke konten

Saksi yang Tidak Boleh Didengar Keterangannya di Persidangan

Bacaan 6 menit
saksi yang tidak boleh didengar keterangannya di persidangan

Dalam sengketa perdata atau tata usaha negara, ada beberapa jenis saksi yang tidak boleh didengar keterangannya di persidangan. Dengan kata lain, saksi sebagaimana penjelasan di bawah adalah saksi yang ‘dilarang’ diajukan dalam persidangan.

Saksi merupakan salah satu alat bukti baik dalam sengketa perdata maupun tata usaha negara. Namun demikian, saksi yang dianggap berkualitas adalah saksi yang memberikan keterangan berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri.

Artikel kali ini secara khusus membahas tentang saksi yang tidak boleh didengar keterangannya di persidangan baik dalam perdata, tata usaha negara, pidana, perceraian, dan sebagainya.

Saksi yang Tidak Boleh Didengar Keterangannya di Persidangan

Sebelum membahas jenis saksi yang tidak boleh didengar keterangannya di persidangan, sebaiknya mengetahui terlebih dahulu apa itu saksi.

Apa itu Saksi?

Saksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai berikut:

  1. orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian): siapa –nya bahwa saya berbuat begitu?; langit dan bumi yang menjadi –
  2. orang yang dimintai hadir pada suatu peristiwa yang dianggap mengetahui kejadian tersebut agar pada suatu ketika, apabila diperlukan, dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi: dua orang itu ikut menandatangani kontrak sebagai –
  3. orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa: — yang kedua itu oleh hakim dianggap tidak sah
  4. keterangan (bukti pernyataan) yang diberikan oleh orang yang melihat atau mengetahui
  5. bukti kebenaran: ia berani memberi — dengan sumpah
  6. orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang didengarnya, dilihatnya, atau dialaminya sendiri.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri[1].

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa saksi adalah orang yang memberikan keterangan dalam persidangan, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa yang ia lihat, dengar dan dialami sendiri.

Alat Bukti dalam Perdata

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyebutkan ada lima jenis alat bukti. Hal ini tergambar dalam ketentuan Pasal 1866 KUH Perdata yang menyebutkan alat pembuktian meliputi:

  1. bukti tertulis;
  2. bukti saksi;
  3. persangkaan;
  4. pengakuan;
  5. sumpah.

Alat bukti di atas serupa dengan yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 164 HIR dan Pasal 284 RBg. Ketentuan tersebut juga digunakan dalam lingkungan Peradilan Agama, menyebutkan hierarki alat bukti yaitu bukti tertulis (surat); bukti saksi; persangkaan; pengakuan; dan sumpah.

Saksi yang tidak Boleh Didengar Keterangannya dalam Persidangan Perdata

Lantas, apakah ada saksi yang tidak boleh didengar keterangannya dalam persidangan perdata? Menurut ketentuan Pasal 1912 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa:

  • Orang yang belum genap lima belas tahun, orang yang berada di bawah pengampuan karena dungu, gila atau mata gelap, atau orang yang atas perintah Hakim telah dimasukkan dalam tahanan selama perkara diperiksa Pengadilan tidak dapat diterima sebagai saksi.
  • Hakim boleh mendengar anak yang belum dewasa atau orang yang berada di bawah pengampuan yang kadang-kadang dapat berpikir saat itu tanpa suatu penyumpahan, tetapi keterangan mereka hanya dapat dianggap sebagai penjelasan.
  • Juga Hakim tidak boleh mempercayai apa yang menurut orang tak cakap itu telah didengarnya, dilihatnya, dihadirinya dan dialaminya, biarpun itu semua disertai keterangan tentang bagaimana ia mengetahuinya.
  • Hakim hanya boleh menggunakannya untuk mengetahui dan mendapatkan petunjuk-petunjuk ke arah peristiwa-peristiwa yang dapat dibuktikan lebih lanjut dengan upaya pembuktian biasa.

Di samping itu, terdapat juga ketentuan Pasal 145 H.I.R yang menyebutkan bahwa saksi yang tidak boleh didengar keterangannya adalah:

  1. keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus;
  2. istri atau laki dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian;
  3. anak-anak yang tidak diketahui benar apa sudah cukup umurnya lima belas tahun;
  4. orang, gila, meskipun ia terkadang-kadang mempunyai ingatan terang.

Namun demikian, Indonesia menganut asas Lex Specialis Derogat Leg Generali, yang artinya  suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan ketentuan perundang-undangan yang bersifat umum. Sehingga menurut ketentuan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menentukan:

  1. Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri.
  2. Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak atau pun orang lain untuk menjadi hakam.

Alat Bukti dalam Sengketa Tata Usaha Negara

Dalam artikel “Proses Persidangan Tata Usaha Negara” ada beberapa alat bukti[2] dalam sengketa tata usaha negara yaitu:

  1. surat atau tulisan;
  2. keterangan ahli;
  3. keterangan saksi;
  4. pengakuan para pihak;
  5. pengetahuan Hakim.

Saksi yang Tidak Boleh Didengar Keterangannya dalam Sengketa Tata Usaha Negara

Dari ke lima alat bukti dalam sengketa tata usaha negara tersebut, ada satu alat bukti yang tidak boleh diajukan sembarangan. Alat bukti dimaksud adalah saksi. Sebab, menurut ketentuan Pasal 88 UU Peratun menyebutkan bahwa saksi yang tidak boleh didengar keterangannya adalah:

  1. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa;
  2. istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai;
  3. anak yang belum berusia tujuh belas tahun;
  4. orang sakit ingatan.

Saksi dalam Pidana

Kamus Hukum yang ditulis oleh M. Marwan Dkk[3] menyebutkan bahwa saksi adalah orang yang terlibat atau dianggap mengetahui terjadinya sesuatu tindak pidana, kejahatan atau sesuatu peristiwa; orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

Menurut ketentuan Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan alat bukti yang sah adalah:

  1. keterangan saksi;
  2. keterangan ahli;
  3. surat;
  4. petunjuk;
  5. keterangan terdakwa.

Saksi yang Tidak Boleh Didengar Keterangannya dalam Persidangan Pidana

Dalam sistem peradilan pidana pun telah mengatur sedemikian rupa mengenai saksi yang tidak boleh didengar keterangannya dalam persidangan. Saksi dimaksud diatur dalam ketentuan Pasal 168 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi:

Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka saksi yang tidak boleh didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

  1. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
  2. saudara dan terdakwa atau yang bersama-sama sebagal terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga
  3. suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Namun demikian, dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 menghendakinya dan penuntut umum serta tegas menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah[4]. Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah[5].

Ketentuan di atas dapat dikecualikan sepanjang menyangkut anak yang berhadapan dengan hukum. Sebab, menurut ketentuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU No. 11 Tahun 2012) menyebutkan:

Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri[6]“.

Penutup

Dari uraian di atas, terdapat beberapa saksi yang tidak boleh didengar keterangannya dalam persidangan yaitu: pertama, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga;

kedua, saudara dan terdakwa atau yang bersama-sama sebagal terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Demikian. Semoga bermanfaat.


[1] Lihat Ketentuan Pasal 1 angka 26 KUHAP.

[2] Lihat Ketentuan Pasal 100 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

[3] M. Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum, Penerbit Reality Publisher, Surabaya: 2009., hlm., 550

[4] Lihat Ketentuan Pasal 169 ayat (1) KUHAP.

[5] Lihat Ketentuan Pasal 169 ayat (2) KUHAP.

[6] Lihat Ketentuan Pasal 1 angka 5 UU No. 11 Tahun 2012.

Tinggalkan Balasan