Last Updated: 20 Mar 2022, 09:17 pm
Series Menanti Hujan di Negeri Kaktus bagian dua belas
***
Begitu banyak yang mengira, bahwa aku telah duduk di bangku SMA. Terutama seorang nenek yang baru kukenal seminggu lalu. Setiap kali bertemu dengannya, aku tak memakai seragam sekolah, sehingga tak diketahui secara persis. Namun, kali ini ia main sebut-sebut, bahwa aku sudah sekelas SMA. Memang aku sudah tua, ya?
Ketika pulang, belakangan ini, ia sering melewati jalan Jenderal Sudirman—hanya untuk memastikan, bahwa lampu merah akan segera menyala. Ya, setiap aku temui dia di sana, jika lampu merah itu menyala, tiba-tiba ia kegirangan. Tak tahu apa penyebabnya!
Rambutnya sudah hampir semua memutih. Gigi ada beberapa yang copot, dan beberapa lagi telah menghitam. Kulit mengeriput seperti daun pisang yang mengering. Lutut telah meruncing seperti ujung bambu yang ditebas miring. Kali ini, ia bersama rekannya yang juga seorang nenek. Mereka bertepuk-tepuk tangan ketika lampu merah mendapat giliran menyala.
Ingin mendekat ke kedua nenek yang satunya baru aku kenal dan satu lagi tak kuketahui itu. Dengan cekatan, kuayunkan kaki dengan cepat, biar segera kutahu, apa sebenarnya mereka gila atau tidak!
Dalam waktu dekat atau lama, jika memang gila, sebaiknya kuusulkan ke Ponika agar membawa mereka ke rumah sakit jiwa di Mamboro—di bagian utara kota ini—agar tidak lagi menertawakan warna-warna lampu, dan menunjukkan wajah sedih jika giliran warna-warna lain tiba.
“Baru saja naik ke kelas 3 SMP, Nek! Belum SMA. Aku minta doa terbaik dari nenek, biar nanti lulus ke SMA, ya!” kataku kemudian, ketika duduk di depan mereka berdua—membelakangi lampu merah di trotoar jalan itu.
“Kenapa kau kelihatan cerdas jika bicara?” tanya nenek satunya.
“Semua orang sudah pintar bicara, Nek. Tidak ada bedanya dengan orang lain, sepertinya aku ini. Apa ada yang aneh memang?”
“Lantas, sudah seminggu ini, kau berada di depan kami dan menemani. Apa maksudmu?” Ah, aku tak tahu harus berbuat apa. Ingin mengatakan bahwa aku prihatin dengan orang gila, ternyata cara bicaranya baik-baik saja. Tidak menunjukkan sesuatu yang di luar akal sehat. Jika tidak gila, untuk apa mereka menertawakan lampu merah, dan menepuk-tepuk tangan, lalu menangisi lampu hijau dan kuning! Aneh kan?
“Ya, aku hanya heran saja, Nek, kenapa sudah seminggu ini berada di sini, padahal sebelumnya, nenek tidak berada di sini. Dan kali ini, sudah berdua. Kenapa?” tanyaku kembali.
Sang Nenek kembali terbahak-bahak, ketika lampu berwarna merah itu menyalah menyenter matanya. Gigi yang sudah sedikit menghitam itu seperti melantunkan sebuah lagu yang merdu. Tetapi itu menurut mataku, sementara menurut telinga, seperti sebuah ember yang di bentur-benturkan di tembok besi. Dan menurut hati, ada sesuatu yang misterius yang harus diketahui. Semuanya. Tentang nenek dan lampu merah ini.
Tidak untuk saat ini. Aku harus pintar-pintar mencari waktu yang tepat, untuk mengupas semua pertanyaan. Harus meminta bantuan Ponika, yang lihai membuat pertanyaan-pertanyaan menjebak, sehingga apa pun yang dirahasiakan seseorang, akan terbongkar semuanya. Kukira, Ponika punya bakat jadi wartawan. Yang mimpinya itu.
Aku segera pamit tanpa pedulikan apakah mereka sudah makan atau belum! Hari ini sedikit frustrasi dibuat kedua nenek itu walau hanya separuh waktu saja. Seumur hidup, baru pertama kali menemukan seorang atau dua orang nenek yang aneh bin memusingkan.
“Pon,” kataku di kelas esok harinya, “tahu tidak, selama kita tidak pulang bersama, aku menemukan seorang nenek yang aneh. Ya, setidaknya itu menurutku,” sambungku.
“Hahaha …” Ponika terbahak, entah lucu atau aneh, “aneh kenapa sih, maksudmu?” sambungnya menanya.
“Kapan kita bisa pulang bersama lagi? Kuharap, nenek itu masih di sana. Jika memang iya, kuharap kau membantu untuk membongkar tingkah anehnya itu. Bisa, kan, tak menjawab sekarang?”
“Oke, sebentar kita pulang bersama. Biar kulihat, apa yang akan kau buktikan kepadaku.”
Siangnya sepulang sekolah, aku terbirit-birit menyusuri trotoar jalan. Memaksa berjalan bersanding, tetapi Ponika tak mau. Ia mengekor berjalan di belakang dan menelisik kepalaku yang selalu menengok. Tepat pada tikungan ke kiri, ya Alhamdulillah, kedua nenek itu berada di sana. Lagi-lagi, bahak membahana di udara yang penuh dengan polusi, entah nepotisme.
Aku berhenti, dan memerintahkan Ponika untuk mendekatiku.
“Lihat kan nenek-nenek itu?” tanyaku.
“Ya.”
“Yang itu maksudnya. Aku tak pernah kecewa terhadapmu, ketika kau membongkar satu rahasia dari orang lain melalui pertanyaan-pertanyaan. Sini, lebih dekat!” pintaku. Ia menuruti. “aku berikan gambaran umum saja: awalnya, hanya nenek yang sebelah kiri itu seorang yang aku temui duduk di sana, sambil melihat lampu-lampu merah, hijau, dan kuning itu. Ia tertawa ketika lampu merah menyala. Kemudian, kemarin, bertambah lagi satu nenek, tingkah laku sama. Tertawa saat lampu merah menyala. Itu yang tak kupahami. Kau tahu maksudnya kan, tentang aneh itu?” Ponika mengangguk pelan dan tersenyum tipis. Sepertinya ia tahu, pertanyaan apa saja yang akan dilontarkan ke telinga nenek-nenek aneh itu.
Kami melanjutkan perjalanan. Setelah mendekat, tanpa basa-basi aku langsung bertanya, apakah sudah makan? Nenek sebelah kanan itu menjawab, sudah. Katanya, setelah makan, mereka akan duduk di tempat itu. Wah, berarti sudah di jadwalkan sebelumnya. Ponika maju dan duduk di dekat kedua nenek itu.
“Halo, Nek!” sapa Ponika basa-basi. Nenek itu menatap tajam. Separuh tatapannya tak pernah lepas dari lampu merah. Aku duduk di samping Ponika. Kini, kami berhadap-hadapan dengan kedua nenek itu.
“Asal nenek dari mana?” tanya Ponika.
Sang nenek masih terdiam. Dan tertawa setelahnya. Ah, jangan-jangan Ponika dibuat menyerah sama nenek-nenek aneh ini! aku mulai khawatir.
Tapi Ponika tak peduli, ia kembali mencecarkan pertanyaan selanjutnya, “Aku suka dengan warna merah.”
“Apaaaaa …??” kedua nenek itu tiba-tiba seperti dikomandoi menganga dan mengucap demikian. Celahnya, sudah didapat Ponika.
Aku berharap, bahwa Ponika terus melancarkan pertanyaan-pertanyaan yang memancing, tetapi ia hanya mendehem dan sedikit tersenyum—menengok ke arahku. Ia mengangguk setelahnya.
Sementara, kedua nenek itu beralih perhatian. Ketiga warna yang saling bersusun di atas perempatan jalan itu tak lagi menjadi fokus pandangan mereka. Tampaknya, akan terbongkar hari ini juga tingkah-tingkah aneh.
“Apa nenek suka dengan warna merah?” tanya Ponika.
Kedua nenek itu mengangguk pelan.
“Lantas, kenapa hampir setiap harinya, setelah Asar, nenek duduk di sini, dan sesekali melempar tawa kepada lampu itu?” tanyanya lanjut sambil menunjuk lampu-lampu bergantian menunjukkan warna aslinya.
“Kenapa, Nak suka merah?” Ponika, aku, kaget mendengar pertanyaan nenek yang lebih awal duduk di situ. “kenapa tidak hitam? Putih? Atau cokelat?” lanjutnya masih dalam tanya.
Kenapa aku jadi pesimis ya kali ini? Ponika yang harusnya menjadi seorang detektif kok malah ia yang ditanya bertubi-tubi? Mampukah Ponika menyelesaikan tugas dariku? Tidak, Pon, kau harus bisa menangkis semua pertanyaan-pertanyaan dari nenek ini, dan kau harusnya dapat menggali semua informasi, kataku dalam hati.
“Sekarang begini, nek, aku janji akan menjawab pertanyaan itu. Tetapi sebenarnya aku merasa aneh, dan ingin bertanya beberapa hal, terutama kesamaan kita terhadap warna. Betul aku suka warna merah, tetapi tidak seperti ini. Maksudnya, tidak memandangi secara terus-menerus di lampu merah ini. Bisakah nenek jelaskan kenapa ada di sini, selama seminggu ini?”
“Aku bisa beritahu, kecuali Nak sudah menjawab pertanyaanku!”
Waduh, gawat! Jangan-jangan nenek-nenek ini mantan wartawan yang sudah pensiun? Pikirku kemudian.
“Oh, sangat boleh sekali nek,” Ah, aku sedikit lega atas sikap Ponika yang dingin. “merah kan salah satu warna di bendera kita, Indonesia. Dan, warna merah itu berada di atas dibanding putih. Alasannya, aku ingin selalu berada di atas, baik dari segi perilaku, pemikiran, hingga pada penampilan. Tetapi, belum tercapai semua itu, Nek. Itulah kenapa masih suka pada warna merah. Hal demikian akan membuatku menjadi orang-orang yang selalu berani. Berani dalam segala hal, Nek!” jawab Ponika.
Sang nenek menggeleng-geleng. Aku tersenyum. Kendaraan, yang dikemudikan oleh laki-laki dan perempuan hilir mudik di samping kami. Tak ada yang memerhatikan kami lebih serius: dua orang anak sekolah dan dua orang nenek-nenek, lagi berbincang—dan membuat para pengendara membunyikan klakson kendaraannya.
“Kenapa nenek di sini?” tanyaku yang memang sudah dirongrong oleh rasa penasaran.
“Perlu kujawab?”
“Iyalah, Nek! Kan nenek tadi sudah janji pada kami.”
“Yang jujur?”
“Masa Nenek harus bohong sama kami yang masih ingusan ini!”
“Apa penting buat kalian?”
“Sebagai sesama manusia, kenapa tidak, mendengarkan jika memang nenek punyai masalah yang serius, sekalipun?”
“Jadi begini,” ungkap Nenek lalu terdiam sejenak, “aku punya seorang anak, namanya Surudut. Ia adalah anakku satu-satunya. Tiga tahun lalu, ia meninggalkanku seorang diri, pasca suamiku meninggal dunia. Ia hanya menitipkan selembar surat yang untungnya aku tahu membaca. Aku baca setelah salat magrib di bawah temaram lampu minyak satu-satunya di rumah. Dalam surat itu ia berpesan, bahwa jaga diri baik-baik. Bagaimana mungkin menjaga diri baik-baik sementara sudah tua merenta begini?” Mata Ponika mulai berkaca-kaca. Dalam hatiku seperti memaki anak dari Nenek ini. Ia melanjutkan dalam sendu:
“Ia juga berpesan, bahwa akan kembali setelah menemukan mimpinya, yang juga tak kutahu mimpinya itu seperti apa. Kemudian setahun setelahnya, aku menerima surat lagi dari Surudut, bahwa ia baik-baik saja di kota.”
“Sebelumnya nenek tinggalnya di mana?”
“Di sana, di pinggiran kota ini!”
“Lanjut, Nek!” kataku.
“Pada surat pertama itu, Nenek seperti ingin menerkamnya jika memang Surudut ada di depanku. Begitu tega ia meninggalkanku tanpa ada uang di tangan seribu rupiah pun. Apa tak sadar, bahwa ia adalah anak satu-satunya dan yang kuharapkan? Tak khawatir dengan hidup sebatang kara dan telah tua ini? Apa ia tega aku mati karena kelaparan? Setelah surat kedua itu selesai dibaca, setahun setelahnya lagi, datang surat ketiga. Ia menyampaikan, bahwa orang-orang di kota resah menunggu butiran hujan. Orang-orang banyak kehausan di jalanan. Kebun-kebun petani yang tersisa, rata-rata gagal panen. Dari situ, kumemutuskan untuk mencarinya”.
“Setelah dua hari Nenek di sini, seorang pemuda datang menghampiriku. Aku bertanya padanya akan maksud dari lampu-lampu yang terpampang di perempatan jalanan di kota ini. Katanya, tanda warna hijau, pengendara diberikan keleluasaan untuk jalan terus; lampu kuning, para pengendara diperintahkan untuk hati-hati dan pelan-pelan; dan lampu merah, adalah tanda semua pengendara untuk berhenti. Berhenti! Kata berhenti itulah yang membuat aku tertarik. Pelbagai cara telah kulakukan untuk mencari anakku tetapi tak menemukannya. Ingin membalas surat, tetapi tak tahu di mana alamatnya. Nah, jika lampu merah tanda berhenti, maka orang-orang akan banyak berhenti, di titik itulah, mataku yang sudah melihat tak jelas ini, bisa menyasar wajah satu-persatu para pengendara. Siapa tahu Surudut ada di antara ratusan orang yang menunggu lampu hijau menyala.”
Cerita itu menyedihkan. Aku, seorang yang merindukan hujan pun ibu di kampung, tiba-tiba menjadi benci kepada Surudut—dengan tega meninggalkan ibunya seorang diri.
Lantas, Ponika terpikir untuk membantu nenek itu. Ia mengusulkan bahwa menyebar gambar Surudut, tetapi, sang nenek tak memiliki gambar apa pun. Dengan begitu, kami meminta bantuan ahli sketsa, dan nenek itu menjelaskan secara detail ciri-ciri surudut. Setelahnya, di print banyak, lalu disebarluaskan di berbagai objek-objek yang mudah dilihat.
Selanjutnya Baca Bagian Ketigabelas