Last Updated: 04 Jan 2022, 07:46 pm
Uang paksa atau dwangsom telah diatur sedemikian rupa untuk sengketa perdata. Namun, apakah sengketa TUN dimungkinkan adanya dwangsom ?
Artikel ini secara khusus membahas tentang dwangsom dalam sengketa TUN. Apakah TUN memungkinkan adanya dwangsom —yang sama dengan sengketa perdata? Untuk itu, mari kita simak beberapa hal berikut ini:
Daftar Isi
Apa itu Uang Paksa?
Uang paksa adalah uang hukuman bagi seorang tergugat (orang yang menimbulkan kerugian bagi orang lain) yang ditetapkan dalam putusan hakim, yang diserahkan kepada penggugat (pihak yang telah dirugikan). Hukuman dengan cara dan bentuk ini, merupakan salah satu cara menghukum seseorang untuk menekan secara psikis agar tidak melalaikan hukuman yang diberikan kepadanya.
Menurut Bambang Sugiono[1], dwangsom adalah pembayaran sejumlah uang yang dibayar sekaligus atau dengan cara diangsur kepada orang atau ahli warisannya, atau hukum badan perdata yang bebankan tergugat (Badan/Pejabat Tata Usaha Negara) karena tidak bersedia melaksanakan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkcracht Van Gewijsde), dan hal tersebut menimbulkan kerugian material terhadap orang atau badan hukum perdata.
Dalam perkara perdata, permintaan dwangsom diatur melalui ketentuan Pasal 606a Rv, yang menentukan:
“Sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain daripada membayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan, bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim, dan uang tersebut dinamakan uang paksa”.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan, hakim akan mempertimbangkan fakta-fakta dan menentukan suatu jumlah dwangsom. Pertimbangan tersebut tentu saja dimuat dalam putusan.
Tentang Uang Paksa Sengketa TUN
Dwangsom dalam sengketa TUN telah diatur melalui ketentuan Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun). Ketentuan tersebut mengatur:
“Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif”.
Penjelasan ketentuan di atas adalah sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan ‘pejabat yang bersangkutan dikenakan uang paksa’ dalam ketentuan ini adalah pembebanan berupa pembayaran sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim karena jabatannya yang dicantumkan dalam amar putusan pada saat memutuskan mengabulkan gugatan penggugat”.
Selanjutnya, Angka 7 Pasal 116 UU Peratun menyebutkan:
“Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan”.
Pertanyaannya kemudian, apakah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang dwangsom sudah dilakukan?
Sependek pengetahuan saya, hingga saat ini, peraturan yang terkait dengan dwangsom dalam sengketa TUN belum diatur. Sehingga, pengadilan begitu sulit menerapkan secara optimal.
Ujang Abdulah[2] dalam sebuah makalahnya menyampaikan setidaknya ada 5 permasalahan umum yang ditemukan Peradilan Tata Usaha Negara mengenai dwangsom. Pertama, jenis putusan apa yang dikenakan dwangsom? Kedua, kepada siapa dwangsom dibebankan? Ketiga, sejak kapan uang paksa tersebut diberlakukan? Keempat, apakah Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara sudah dapat menerapkan lembaga dwangsom tersebut meskipun Peraturan Pelaksana upaya paksa belum ada? Kelima, bagaimana mekanisme pembayarannya?
Yang akan kita bahas dalam artikel ini adalah poin keempat. Yaitu, apakah hakim Pengadilan Tata Usaha Negara sudah dapat menerapkan lembaga upaya paksa tersebut meskipun peraturan pelaksana dwangsom belum ada?
Tentang Pencantuman Petitum Gugatan Dwangsom
Meskipun belum terdapat peraturan pelaksanaan dwangsom ini, adakalanya penggugat mengajukan petitum tentang uang paksa. Namun, tidak menutup kemungkinan hakim memberikan saran untuk tidak mencantumkan, dengan alasan belum ada peraturan terkait.
Setelah saya meneliti putusan-putusan pengadilan tata usaha negara, belum mendapatkan putusan yang mengabulkan tuntutan dwangsom. Biasanya, hakim sudah “menghalangi” tuntutan dwangsom ini sejak sidang pemeriksaan persiapan—apabila tercantum dalam gugatan.
Padahal sebenarnya, untuk “mengangkat” kekuatan eksekutorial putusan TUN, harusnya terdapat amar putusan mengenai dwangsom. Namun, penghambatnya adalah belum ada ketentuan lebih lanjut yang mengatur uang paksa.
Ujang Abdulah memberikan pendapat, seharusnya Hakim tidak dapat menolak petitum Upaya paksa tersebut dengan alasan belum ada peraturan pelaksanaannya[3]. Hal ini mengacu pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Di samping itu, terdapat pula ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Kehakiman yang menentukan:
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat“.
Dalam penjelasannya menyebutkan bahwa : “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”.
Mencermati ketentuan-ketentuan dalam UU Kekuasaan Kehakiman di atas, saya sependapat dengan Ujang Abdullah, bahwa hakim tidak boleh menolak adanya tuntutan uang paksa hanya karena belum diatur.
Apakah Uang Paksa dapat Dimintakan?
Menyambung uraian di atas, sebenarnya telah ada petunjuk mengenai uang paksa[4]:
- Uang paksa dapat diminta dalam gugatan dan dapat dimuat dalam amar putusan. Hal ini untuk mendorong pemerintah segera membuat peraturan pelaksananya sebagaimana yang diperintahkan oleh perundang-undangan.
- Agar setiap gugatan yang memuat tuntutan condemnatoir mencantumkan uang paksa.
Hal yang sama juga telah diatur melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
Lebih lanjut, dalam Buku II Mahkamah Agung[5] memberikan petunjuk teknis sebagai berikut:
“Apabila pokok gugatan dikabulkan, tetapi Penggugat tidak mencantumkan pembayaran uang paksa di dalam gugatannya, dan Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan. Ketua Pengadilan TUN Ketua Pengadilan Tinggi TUN sebagai pengadilan tingkat pertama dapat mengenakan pembayaran uang paksa dengan berpedoman pada ketentuan ini”.
Tentang Pembayaran Uang Paksa
Menurut Bambang Heryanto dalam sebuah artikel di laman PTUN Bandung, bahwa menurut teori dari Kranenberg and Vegting mengenai pertanggungjawaban pejabat publik, yaitu terdiri dari konsep yaitu fautes de service (tanggung jawab lembaga) dan fautes personalles (tanggung jawab pribadi pejabat) . Uang paksa dibebankan kepada keuangan pribadi pejabat. Alasannya, pejabat yang tidak mematuhi putusan hakim tidak berada pada posisi menjalankan peranan negara, karena menjalankan peranan negara adalah melaksanakan ketentuan hukum bukan melawan hukum.
Penutup
Jadi sebenarnya apakah uang paksa dalam sengketa TUN memungkinkan? Hingga saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang uang paksa atau dwangsom.
Pasal 116 UU Peratun hanya menentukan dimungkinkannya uang paksa. Meskipun belum ada peraturan yang mengaturnya, seharusnya Hakim tidak menolak tuntutan dwangsom.
Di samping itu, menurut saya, tidak ada salahnya mencantumkan permohonan uang paksa dalam gugatannya.
Demikian. Semoga bermanfaat.
[1] Bambang Sugiono, Penerapan Upaya Paksa dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, Makalah Workshop, Jakarta, 28 Agustus 2004., hlm., 3.
[2] Ujang Abdullah, Penerapan Upaya Hukum Paksa Berupa Pembayaran Uang Paksa di Pengadilan Tata Usaha Negara, Makalah ini disampaikan dalam Buku Perpisahan Hakim Agung Mahkamah Agung RI Ibu Titi Nurmala Siagian, SH., MH yang sudah diperbaharui., hlm., 3.
[3] Ibid., hlm. 8.
[4] Lihat Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Republik Indonesia, Tahun 2012.
[5] Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Edisi 2007., hlm., 70.